2017 is the fourth year of the Yogyakarta Special Region Provincial Cultural Office (Disbud DIY) to fund fiction and documentary short films. It is often referred to as a Danais film. About 35 films have been produced since 2014 with a budget of 150-180 million per film. For 2017, seven short films, five of which are fiction films, two documentaries, are scheduled to be completed in July 2017. The selection of films produced based on proposals sent to Disbud DIY, curated by 5 people, namely Ifa Isfansyah, Senoaji Julius, D.S. Nugraheni, Indra Tranggono, and Dyna Herlina. At a press conference held on January 12, 2017, at Pendapa Disbud DIY, the curator emphasized that the film produced must be tied to Yogyakarta. In other words, the story in the film only occurs in Yogyakarta, the story in the film can only run if there is an element of Yogyakarta, both from the setting, human character, myths, rituals, etc. A film whose story can’t be moved out of Yogyakarta. Standards are high enough, it takes hard work, foresight, perseverance and not just a unique idea from filmmakers to meet these standards. It is only natural because the funds poured are large enough for the count of short film production in Yogyakarta, which is taken from the Yogyakarta Special Fund. The Yogyakarta Special Region Provincial Government distributes Danais to the arts sector ranging from holding art festivals (local, national, to international scale), mentoring arts villages, and one of them is the production of this short film.
Dilema Film Danais Dalam Pemutaran Film Publik
Dalam pemutaran film yang difasilitasi oleh Disbud DIY di desa-desa setiap bulannya, pemutaran film ini menayangkan film-film danais dan film-film yang distribusinya dimiliki oleh Disbud DIY. Teddy Kusriyadi sebagai stakeholder program tersebut berujar bahwa dari sekitar 35 film danais, tidak banyak yang bisa dipilih untuk diputar. Di lain kesempatan, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) dengan program Bioskop FKY sejak 2015, juga turut memutar film-film danais. Diakui sendiri oleh penanggungjawab program bahwa hanya sebagian kecil dari film-film danais yang bisa diputar, karena serupa dengan karakter pemutaran diatas, Bioskop FKY menjangkau penonton dengan berbagai demografi dan latar belakang, tidak dapat menyeleksi penonton5. Dalam sebuah pemutaran film yang berkonsep open air cinema, ada catatan khusus karena perlu menyeleksi film-film dengan sangat memperhatikan demografi penonton.
Film yang sering diputar di kedua pemutaran tersebut adalah Neng Kene Aku Ngenteni Kowe, film fiksi karya Jeihan Angga produksi tahun 2015, dan Jamu Saking Wingking Mengajeng, film dokumenter karya Nur Wucha Wulandari produksi tahun 2016. Film pertama, berkisah mengenai dilemma remaja yang memutuskan untuk urbanisasi demi mencari kehidupan yang lebih mapan, film kedua merupakan film dokumenter berkonsentrasi cerita usaha seorang ibu penjual jamu dalam memenuhi kebutuhan keluarga. 33-an sisanya pernah juga diputar, namun tidak dalam hitungan berkali-kali. Sebuah catatan menarik ketika tiga film danais yaitu, Kitorang Basudara, film fiksi karya Ninndi Raras, Wasis, film dokumenter karya Ima Puspita Sari, dan Di Kaliurang, film dokumenter karya Fransiscus Magastowo masuk nominasi film pendek fiksi dan dokumunter terbaik Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2016. Ternyata bukan termasuk film yang paling sering diputar pada pemutaran film yang bertemu langsung dengan masyarakat umum. Selalu jadi perdebatan panjang ketika mewacanakan antara kualitas dengan popularitas karya seni. Film-film danais memang mendapat slot pemutaran di festival film seperti Jogja-Netpac Asia Film Festival (JAFF)9 dan Festival Film Dokumenter (FFD)10, namun yang menjadi fokus dari tulisan ini adalah sejauh apa intensitas film-film danais bertemu dengan publik umum, bukan yang khusus.
Film Jamu Saking Wingking Mengajeng aku Teddy, menginspirasi masyarakat di desa-desa untuk berani mengekspresikan aktivitas kesehariannya melalui medium film. Aspirasi ini kemudian disampaikan kepada kepala seksi perfilman Disbud DIY, Dra. Sri Eka Kusumaning Ayu. Sehingga mulai tahun 2017 ini diadakan workshop film bertajuk “Workshop dan Pembuatan Film Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Desa”, yang diampu dan materinya dibuat oleh Paguyuban Filmmaker Yogyakarta.
Fenomena yang menarik, karena barangkali baru disadari bahwa film tidak melulu hanya sebagai media edukasi didaktis, namun membuka wawasan bahwa ekspresi dan problematika keseharian dapat disampaikan melalui film, tidak melulu social media. Dalam koridor kendali estetika yang terjaga, pada kasus film danais disinilah kurator berperan. Kendala yang kerap hadir dalam film danais adalah tidak semua film benar-benar mempresentasikan Jogja, terikat dengan Jogja, dan bisa diterima oleh semua usia. Keliru jika berpikir bahwa persoalan berada pada isu yang diangkat dalam film, namun lebih kepada bagaiman mengemas film menjadi sebuah paket karya audio visual yang bisa disaksikan oleh semua usia.
Kenapa harus demikan? Karena film yang diproduksi oleh Disbud DIY ini berasal dari Dana Keistimewaan Yogyakarta, maka masyarakat harus mendapat kemanfaatan darinya, tidak hanya dikalangan pembuat dan pengamat film. Nampaknya kesadaran ini perlu dibangun, karena film danais sudah memasuki tahun keempat dan dana yang dikeluarkan sudah cukup besar, maka dari itu, dalam pressconference juga ditekankan oleh salah satu kurator bahwa filmmaker harus memiliki tanggungjawab untuk menjadikan film ini sebuah karya, bukan proyek. Dengan kata lain harus terjadi negosiasi yang seimbang antara ego seniman dengan keinginan mempertemukan film ini dengan publik dari berbagai usia dan latar belakang.
Penutup
Pada hari Rabu 15 Maret 2017, penulis berkesempatan untuk menyaksikan presentasi 15 besar proposal kompetisi pendanaan dan pembuatan film pendek 2017 (film danais 2017) di ruang seminar Taman Budaya Yogyakarta. Tampak setiap peserta berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkan kurator bahwa konsep filmnya layak untuk lolos dan diproduksi, mulai dari menyiapkan video teaser, referensi visual, hingga hasil risetnya. Kemudian dipilihlah 7 proposal film, 5 film fiksi dan 2 film dokumenter.
Pressconference yang menekankan bahwa film danais harus terikat dengan Jogja terlihat sebagai sebuah evaluasi positif. Cukup mengherankan karena pada tahap presentasi 15 besar, tidak semua peserta diingingatkan oleh kurator akan pentingnya cerita film terikat dan mempresentasikan Jogja. Sangat layak dinantikan apakah film-film yang terpilih akan sesuai dengan ekspektasi kurator –seperti yang disampaikan saat pressconference–, dalam hal ini tidaklah perlu tergesa-gesa. Alangkah baiknya kita melepaskan diri dulu dari sinisme bahwa film-film yang dipilih hanya berdasar “pertemanan”, bukan pada kematangan konsep, dampaknya bagi publik, dan ikatannya dengan Jogja.
Harus ditanamkan bahwa, kita sebagai publik dapat mengukur pencapaian film-film danais ini setelah selesai produksi, apakah film-film ini bisa kembali ke publik secara luas, atau hanya beredar di festival-festival film yang berlingkup pada kalangan pembuat, penikmat, dan kritikus film. Perlu diingat, jika film danais dari tahun ke tahun mengkerdilkan dirinya sendiri dengan beredar hanya di antara penggiat film, mencerminkan bahwa Disbud DIY melalui kurator-kuratornya –dalam konteks film danais— mempermalukan dirinya sendiri karena tidak optimal dalam memberikan kemanfaatan danais bagi publik. Namun jika Disbud DIY dapat bekerja secara professional, berdedikasi pada kemanfaatan dan pemberdayaan publik, otomatis akan memberdayakan semakin banyak SDM-SDM baru untuk melahirkan antusiasme terhadap film sebagai medium ekspresi. Menunjukkan bahwa pemerintah daerah Jogja berkontribusi sebagai kawah candradimuka bagi jangkar perkembangan seni dan budaya, satu hal yang kerap dipandang skeptis dikalangan pelaku seni, baik praktisi hingga kritikus.
Film menjadi salah satu medium dimana masa lalu disimpan dan dikategorikan. Di era keterbukaan teknologi, film sebagai media komunikasi dapat digunakan oleh kelompok masyarakat dari berbagai latar belakang untuk melanjutkan ekspresi budaya mereka. Dengan kata lain film menawarkan medium baru bagi suatu kelompok untuk menempatkan ulang konteks, tradisi, dan sejarah mereka, serta memaknainya secara ulang menjadi semakin lentur dan dapat diakses. Pekerjaan rumah juga berada di level filmmaker, menjadi sebuah tantangan yang menarik untuk menguji kejelian dan kreatifitas. Di sisi lain, Disbud melalui para kurator tidak dapat lepas tangan, bersama supervisor mereka bertugas menjaga film-film ini on the track standar film danais, baik dari segi estetika hingga segmentasi. Perlu direfleksikan bersama, perihal visi dan otoritas seniman terhadap karyanya, dalam hal ini filmmaker dengan karya filmnya. Mempertimbangkan berbagai aspek diluar film, yaitu penonton dan regulasi, terlebih lagi pada kasus film-film yang dananya berasal dari publik, nampaknya perlu ditempatkan sebagai poin skala prioritas. Seperti yang ditekankan para kurator film danais, memang butuh kerja keras, dedikasi, ketelitian, dan profesionalisme.
Agar tidak semakin berlarut anggapan bahwa film itu “kanibal”, setinggi dan sebergengsi apapun prestasinya, riaknya hanya dinikmati dan didengar kalangannya. Sudah terlalu banyak film Indonesia dihargai begitu tinggi di skala internasional, namun sulit mendapat apresiasi di negeri sendiri secara luas, jangan sampai kasus serupa menimpa film-film danais. Disbud DIY selayaknya dapat mempertemukan publik dengan mobilitas global, tidak hanya bagi penggiat film. Sebagai bagian dari publik, sangat diharapkan bahwa film-film danais menjadi tontonan yang tidak menyakiti pikiran, menumbuhkan antusiasme terhadap problematika masyarakat, intinya kembali pada publik secara layak, tidak hanya satu atau dua film saja.