Mencari ‘Hari Baik’ untuk Hari Film Nasional

Suatu hari, saya pernah mendapati seorang kawan di Jogja yang melangsungkan akad nikah pada pertengahan minggu jam 12 malam. Alasannya, karena kawan saya dan pasangannya memiliki perhitungan weton yang tidak cocok, sehingga harus ditempuh berbagai cara –mulai dari mencari hari dan jam yang ‘baik’, hingga menjalani berbagai prosesi ritual– agar pernikahan dan rumah tangganya kelak berjalan lancar. Ingatan ini mendadak muncul setelah membaca buku Merayakan Film Nasional yang diterbitkan oleh Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017. Buku ini menceritakan bagaimana lika-liku penetapan Hari Film Nasional. Penetapan yang tidak hadir dari ruang hampa. Membaca kembali sejarah hari film nasional akan membawa kita pada berbagai pertarungan gagasan dan kepentingan yang pernah terjadi, tidak hanya soal film tapi juga soal situasi sosial politik dan imajinasi atas identitas nasional dari zaman ke zaman.

*****

Djamaluddin Malik, produser film dan pemilik Studio PERSARI, mengusulkan pada Ketua Dewan Film Indonesia (DFI), yaitu Kolonel Sukardjo, agar 30 Maret atau hari pertama produksi film Long March (Darah dan Doa), ditetapkan sebagai Hari Film Nasional (HFN). Perbincangan ini tertulis dalam notulensi rapat “Musjawarah Film Indonesia” pada 11 Oktober 1962. 37 tahun kemudian, Presiden BJ Habibie melalui Keppres RI No. 25/1999 menetapkan 30 Maret sebagai HFN. Melewati seluruh episode Orde Baru, zaman keemasan industri film dekade 80an, dan periode produktif Djajakusuma, Usmar Ismail, Sjumandjaja, Wim Umboh, Asrul Sani, Arifin C. Noer, hingga Teguh Karya. Kiranya gejolak apa yang terjadi sehingga membutuhkan waktu begitu lama untuk menetapkan 30 Maret sebagai hari yang kini banyak dirayakan insan perfilman Indonesia? Pertanyaan inilah yang menjadi premis dari buku Merayakan Film Nasional.

Buku ini diterbitkan oleh Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017 untuk merayakan sekaligus mempertanyakan bagaimana film sebagai karya seni populis menjadi bagian dari ide berbangsa dan bernegara. Terdiri dari 5 artikel yang ditulis oleh Totot Indrarto, Adrian Jonathan Pasaribu dan Hikmat Darmawan. Kelima artikel ini mengelaborasi poin-poin seputar dialektika kepentingan film antara seniman dengan pemerintah, dualisme sinema idealis dan industrialis, narasi politik yang berkembang di sekitar film, hingga pertanyaan reflektif tentang relevansi idiom “film nasional” dalam konteks hari ini.

Totot Indrarto menulis dua artikel, pertama “Film: Dari Italia sampai Hindia Belanda” dan kedua “Film Nasional Indonesia”. Artikel pertama menceritakan sejarah transformasi film sebagai produk hiburan menjadi salah satu medium propaganda yang strategis. Rentang waktu kisah kelahiran film dimulai dari 1824 ketika John Ayrton Paris menemukan Thaumatrope sampai ketika Mitchel H. Mark tahun 1896 mendirikan bioskop permanen pertama, The Vitascope Theater. Konsekuensi ketika film mulai menjadi tontonan kelas menengah ke atas sekitar tahun 1907 adalah perubahan bentuk dari film yang awalnya spektakel dan sensasional, menjadi lebih naratif. Terutama saat  Georges Melies, mulai membuat film dengan pengaruh teatrikal, ilusi tipuan kamera dan cerita-cerita yang fantastik. 

Sebelumnya, film (kala itu disebut gambar idoep) sudah masuk ke Hindia Belanda sejak 1901. Perkembangan film di Hindia Belanda memang berkutat pada kepentingan bisnis pemerintah kolonial dan Tionghoa yang saling berebut pengaruh melalui strategi-strategi pengelolaan bioskop dan peredaran film. Situasi ini bertahan setidaknya hingga pasca perang dunia pertama 1914-1918. Dekade 1920-an, di Batavia beredar film propaganda politik dan ideologi fasis yang dimotori oleh Joseph Stalin (Soviet), Adolf Hitler (Jerman), dan Benito Mussolini (Italia). Meski demikian, film-film ini masih kalah populer dengan film-film Hollywood. Totot tidak menjelaskan lebih jauh, apa penyebab film-film Hollywood lebih diminati khalayak pada masa itu. Ini mungkin menarik sebagai catatan untuk kajian berikutnya.

Pada bagian kedua, “Film Nasional Indonesia, Totot menjelaskan bagaimana akhirnya 30 Maret  yang dipilih menjadi Hari Film Nasional (HFN). Dipilih karena memang sebelumnya terjadi beberapa usulan terkait tanggal yang layak ditetapkan sebagai HFN. Selain 30 Maret, ada pula 9 Mei yang diusulkan oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS), sebuah aksi yang digagas oleh pegiat film berideologi komunis. Pasca-65 tentu saja usulan tanggal ini hilang tak berbekas. Totot tidak menjelaskan apa momentum yang melatarbelakangi usulan 9 Mei ini. Tampaknya, informasi tentang aksi-aksi dan gagasan golongan ‘kiri’ memang masih sulit diakses. Hingga yang tertinggal hanya informasi-informasi sepotong tanpa konteks yang mendalam.

Dianggap tidak mengandung idealisme dan nilai perjuangan, usulan 6 Oktober, hari penyerahan Nippon Eiga Sha pada pemerintah Indonesia yang kemudian menjadi Berita Film Indonesia (BFI) lalu Perusahaan Film Negara (PFN), juga ditolak. Kemudian ada 19 September, bertepatan dengan tanggal pidato pertama Presiden Sukarno di Lapangan Ikada tahun 1945. Peristiwa ini direkam oleh juru kamera BFI/ PFN. Meskipun heroik dan mengandung kesadaran nasional, peristiwa ini dirasa lebih dikenang sebagai momentum jurnalistik ketimbang film. Praktis, 30 Maret, hari pertama syuting Darah dan Doa, dirasa paling memenuhi syarat untuk disepakati sebagai HFN. Produksi oleh perusahaan film Indonesia, disutradarai orang Indonesia, dan mengambil latar dan cerita Indonesia, menjadi alasan terkuat 30 Maret dinobatkan sebagai HFN yang baru disahkan dalam Keppres BJ Habibie pada 29 Maret 1999. Dalam sambutannya, BJ Habibie meyakini bahwa Darah dan Doa  menandai bagaimana film menjadi lebih dari sekadar hiburan layaknya film pada masa kolonial Belanda, namun tidak pula seperti pada masa pendudukan Jepang yang menjadikannya sebagai alat propaganda. Dua tulisan Totot ini memang bersifat paparan data. Analisis lebih dalam tentang identitas dan imajinasi kebangsaan melalui penetapan HFN, dielaborasi oleh dua penulis berikutnya, Adrian Jonathan Pasaribu dan Hikmat Darmawan.

“Pernyataan Identitas Kebangsaan” dan “Mempertanyakan Film Nasional” adalah dua tulisan dari Adrian Jonathan Pasaribu. Kedua tulisan ini coba mengurai perdebatan yang mengiringi penetapan HFN. Namun bagi saya fokus utama dari esai Adrian adalah kritik pada kerangka dan cara pandang untuk mendefinisikan ‘film nasional’. Konstruksi gagasan dari ide tersebut, menurut Adrian meniadakan kontribusi dari beberapa pihak. Terutama yang berasal dari pegiat film beretnis Tionghoa pada masa kolonial. Adrian memaparkan sejumlah data, meskipun dalam tujuan utama adalah berbisnis, yang ‘berjasa’ dalam memperkaya khazanah perfilman kala itu adalah para pebisnis film Tionghoa. Kelihaiannya dalam melihat potensi pasar penonton melayu, melahirkan karya-karya film yang memadukan berbagai gaya dari hollywood, adegan laga dan cerita lokal ala film mandarin, hibrida identitas kultural, dan sisi kosmopolit warga nusantara. Tjonat (1930), Terang Boelan (1937), Impian di Bali (1939), dan Rentjong Atjeh (1940), adalah karya-karya ‘pra-film nasional’ yang seharusnya tidak hanya dilihat dalam bingkai: sejarah pembuatan film di Indonesia, tetapi juga: sejarah  film Indonesia.

Menurut Adrian, satu lagi gagasan film nasional yang hilang dari linimasa sejarah kita berasal dari dikotomi menyesatkan soal pertentangan ideologis golongan ‘kiri’ dan ‘kanan’. Pasca 45, pertentangan keduanya terlalu disederhanakan dalam bingkai dualisme film ideal vs film komersial. Ketiadaan usaha untuk menyelami sengkarut kepentingan antar tokoh dan lembaga di sekitarnya kerap luput dari pembicaraan. Adrian menuliskan bagaimana kelompok kiri melalui Lekra banyak mengecam kerja-kerja perfilman yang tidak memiliki visi pembangunan kebudayaan nasional, hanya berorientasi komersial, epigon, imitasi, dan pada akhirnya membantu intervensi imperialis. Pernyataan ini disampaikan oleh Bachtiar Siagian, salah satu sineas Lekra. Bagi Lekra, porsi 1% film Indonesia di bioskop pada tahun 1960-1961, sangatlah tidak ideal dalam proses visi kebangsaan. Maka Lekra dan organ-organ famili ideologisnya memberi perlawanan terbuka di ruang-ruang publik. Persoalan inti dari apa yang digugat Lekra bukan semata sisi komersialitasnya, tetapi muatan konten film yang dinilai tidak sejalan dengan usaha-usaha revolusi. Sebuah aksi yang menurut Adrian dalam penulisan sejarah film Indonesia, kerap diolok-olok sebagai tindakan sepihak dan mengakibatkan merosotnya jumlah bioskop.

Jika menurut Adrian dualisme film ideal vs film komersial terlalu simplifikatif, kompleksitas yang melampaui dikotomi tersebut yaitu soal percaturan politik internasional. Pada kurun 1950-1960-an negara-negara pasca kolonial di kawasan Asia dan Afrika, sedang gencar menggalang poros baru kekuatan dunia di hadapan blok kapitalisme Amerika dan blok komunisme Soviet. Kedaulatan, menjadi kata kunci yang kemudian disematkan pada bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Maka Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung 18 April 1955 juga menghadirkan Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi Pengarang Asia Afrika, hingga Festival Film Asia Afrika (FFAA). FFAA III digelar di Jakarta 19-30 April 1964. Terjadi banyak momentum Penutupan FFAA III, 30 April. Pertama adalah deklarasi bersama untuk mengakhiri dominasi imperialis di bidang film dengan mengembangkan film nasional dan perfilman Asia-Afrika pada umumnya. Singkatnya, tidak hanya menjadi penonton dan objek film, tetapi subjek dan pencipta film. Kedua adalah pendirian PAPFIAS dengan Utami Suryadarma sebagai ketua. Dan ketiga adalah menetapkan 30 April sebagai Hari Film Nasional. Adrian memilih untuk tidak menutup tulisan dengan pertanyaan: ‘Lantas kenapa negara lebih memilih 30 Maret yang diresmikan sebagai HFN?’ Yah… lewat paparan data di bagian sebelumnya, bisa jadi ini tidak lebih dari sekadar pertanyaan retoris yang kita sudah tau jawabnya.

Hikmat Darmawan kemudian menutup buku dengan menegaskan dua poin. Pertama penetapan HFN sejauh ini selalu ditelusuri melalui sejarah media, sejarah sosial, dan sejarah politik. Kedua adalah bagaimana perjalanan kita mendefinisikan nasionalisme. Mulai dari era Sukarno, di mana nasionalisme berangkat dari semangat revolusioner dan menekankan narasi pembentukan arah identitas nasional. Mengakibatkan tegasnya batas mana kawan mana lawan dari revolusi. Meski di saat yang bersamaan, era Sukarno masih jauh lebih merawat keragaman ketimbang era Soeharto ketika ideologi yang dianggap mengganggu stabilitas pembangunan selalu ditiadakan. Ide-ide tentang nasionalisme sengaja dibuat abstrak dan normatif di era Soeharto. Menurut Hikmat, film Indonesia era Soeharto menekankan pada masalah pribadi dengan sedikit kritik atas modernisasi, urbanisasi dan alienasi. Isu penting soal korupsi, kesewenangan pejabat, dan kejahatan aparat sudah pasti mengalami penyensoran. Hikmat menawarkan satu cara pandang untuk melampaui batasan definisi nasionalisme hari ini, yaitu pasca-nasional. Istilah ini kerap digunakan Romo Mangunwijaya pada esai-esainya di sekitar 1998. Pun kembali ditegaskan melalui orasi Seno Gumira Ajidarma di Galeri Indonesia Kaya, 27 Maret 2014. Mengutip Seno, Hikmat menuliskan bahwa definisi nasional dalam kerangka esensialis dan teritorialis yang diterapkan pada film, seharusnya sudah ditinggalkan. Faktanya, film Indonesia era pasca 2000 memang sudah melampaui batas-batas esensial dan teritorial ini. Film-film seperti Laskar Pelangi, Sokola Rimba, Ziarah, Surat Dari Praha, Ayat-Ayat Cinta, Winter In Tokyo dan sebagainya, adalah contoh dari bagaimana kini film Indonesia menggunakan wilayah geografis dengan lebih leluasa, bergaya hidup kosmopolitan, langgam bahasa lebih beragam, tidak terpaku pada budaya yang ajeg dan tunggal, dan penggambaran masyarakat kontemporer yang mengangkat narasi kecil. Film-film yang menampilkan wajah “Indonesia baru” ini tumbuh bersama dengan berbagai gejolak perebutan identitas belakangan. Dalam iklim sosial-politik yang semakin mempertajam polarisasi, film bisa hadir sebagai media yang merayakan keragaman. Sebagai penutup, tulisan Hikmat memang terdengar klise, tapi itu sama sekali bukanlah nasihat yang buruk.

*****

Baru saya sadari belakangan, bahwa buku ini menggunakan momentum pidato Presiden Sukarno pada pembukaan FFAA III di Jakarta menjadi cover. Ketimbang memilih sampul yang merepresentasikan 30 Maret sebagaimana yang diresmikan oleh negara, buku ini lebih memilih potret peristiwa yang menjadikan 30 April sebagai Hari Film Nasional. Sebagai buku yang diterbitkan oleh Kemendikbud, buku ini sepertinya ingin melakukan otokritik pada konsensus film nasional melalui pintu masuk hiruk-pikuk penetapan Hari Film Nasional. Buku ini memang lebih banyak memuat paparan data daripada analisis mendalam, yang mana itu tidak buruk juga untuk buku berjumlah 120 halaman. Melalui pintu masuk Hari Film Nasional, kita mendapat sedikit petunjuk bahwa selama ini sejarah film Indonesia masih terbelenggu seperti umumnya penulisan sejarah kita yang masih bernada ethno-nationalism, javasentris, dan maskulin. Dengan keterbatasan ruang, buku ini cukup memantik usaha untuk terus membaca ulang wacana perfilman dengan politik identitas, imajinasi kebangsaan, dinamika kebudayaan, serta relevansinya dengan gerak pembangunan hari ini.

Penulis:

Arsiparis dan pegiat film dari Jogja yang tergabung dalam kolektif film Cinemartani. Menjadi salah satu programmer Festival Film Dokumenter (FFD) tahun 2019 & 2022. Pada tahun 2019 menjadi salah satu grantees Asia-Europe Foundation (ASEF) untuk berkunjung ke Manila, Filipina melakukan riset yang bertajuk “Re-definition from the Bottom”. Tahun 2018-2021, bekerja sebagai arsiparis di Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Pada tahun 2023-2024 terlibat dalam berbagai program residensi seperti Minikino X Toko Seniman di Denpasar, Bali, Crack Internasional Art Camp di Kushtia, Bangladesh dan Rimbun Dahan Southeast Asian Arts Residency di Selangor, Malaysia

  1. 0 Komentar

Beri tanggapan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *