Komunitas Film dalam Tanda Tanya

Bulan Juli kemarin, saya dan kawan-kawan Cinemartani, Mas Jati, Mbak Andrika dan Bu Eka menyelesaikan membaca bersama salah satu seri Wacana Sinema yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta tahun 2019, yaitu Antarkota Antarlayar: Potret Komunitas Film di Indonesia. Buku ini ditulis oleh tim Cinema Poetica Research Center (CPRC) yang terdiri dari Adrian Jonathan Pasaribu, Deden Ramadani, dan Levriana Yustriani. Pemilihan kepada buku ini sebenarnya didorong oleh keinginan menambah wawasan tentang kerja komunitas-komunitas film di Indonesia. Dimana tidak banyak kajian film pada bidang ini, padahal kehadirannya penting sebagai ruang bertumbuh sineas dan arena pertemuan film dengan masyarakat dengan demografi yang lebih beragam. Buku dengan 173 halaman ini mencuplik geliat para pegiat komunitas di Aceh, Palu, Makassar, dan Jogja. Selain Jogja, siasat dan strategi komunitas-komunitas di wilayah-wilayah tersebut memang bikin kami penasaran. Tentu tidak untuk dibaca sebagai romantisme perjuangan para pegiatnya, tetapi melihatnya dalam rantai kerja ekosistem film secara struktural. Bahwa kerja komunitas senantiasa akan melibatkan berbagai pihak, mulai dari filmmaker, peneliti, penonton, hingga regulator (pemerintah). Secara garis besar, buku ini coba memberi gambaran singkat atas kelindan berbagai kepentingan di dalamnya. Buku ini mencoba tetap fokus dalam berbagai irisan persoalan problem kota dan perfilman yang kompleks. Focusing inilah yang menjadi kelebihan sekaligus kekurangan. Ulasan berikut berasal dari rangkuman hasil obrolan bersama kawan-kawan Cinemartani yang coba saya sarikan. 

*****

Sependek pengetahuan saya, belum ada banyak buku yang fokus mengulas komunitas film di Indonesia dari A-Z. Barangkali yang paling dekat sebelum ini adalah buku Pemetaan Pembuat Film Yogyakarta 2015 yang ditulis oleh para peneliti yang terdiri dari Kurniawan A Saputro, Dyna Herlina, Firly Annisa, Imam Karyadi A dan Zaki Habibi. Buku ini berisi paparan data individu dan kelompok (komunitas) yang bergerak pada bidang produksi film. Meski buku ini tidak fokus pada kerja komunitas, dari buku ini kita mendapat setidaknya gambaran soal lanskap pergerakan film di Jogja, yang pada prakteknya cukup dekat dengan perkara kebijakan pemerintah dan dinamika komunitas. 

Antarkota Antarlayar kemudian hadir dengan lokus yang lebih luas. Meski membatasi dimensi ruang dengan mengambil sampel pada 4 wilayah saja, cara Antarkota Antarlayar memberikan konteks pada komunitas film cukup menarik. Penjelasan tersebut ditulis secara ringkas pada bab 1-3 yang masing-masing berjudul: “Mengapa Orang Film Berkomunitas?”, “Pemetaan Komunitas Film: Survei CPRC 2016” dan “Tafsir Negara Atas Komunitas Film”. Tiga bab awal buku ini mengetengahkan konteks kehadiran komunitas film sebelum kita mendengar perjalanan komunitas film yang berada di Aceh, Palu, Makassar dan Jogja. Bab 4-7 adalah “Kembalinya Pengalaman Sinema yang Hilang”, “Film Makassar Mencari Pasar”, “Lika-liku Sinema Palu di Tangan Pelaku”, dan “Dinamika Baru Bersama Danais”

*****

Saya ingin mengawali review dengan terlebih dahulu membahas bab 2 dan 3. “Pemetaan Komunitas Film: Survei CPRC 2016” ditulis oleh Levriana Yustriani. Sedangkan Deden Ramadani menulis “Tafsir Negara Atas Komunitas Film”. Bab 2 berangkat dari usaha untuk memberikan gambaran lain tentang lanskap perfilman Indonesia yang cenderung didominasi oleh satu jaringan bioskop dan cerita yang cenderung jakarta-sentris. Hal ini membuat ragam perspektif dan narasi yang lebih kritis kerap diabaikan. Maka bab kedua ini menjelaskan metodologi yang digunakan CPRC bisa lebih inklusif dan tidak melewatkan subjek-subjek penting dalam radar pencatatan mereka. Sekaligus mendasari pembahasan bab 3 yang bicara soal sulitnya regulator (pemerintah) dalam mendefinisikan komunitas film. Kegagapan yang mengakibatkan seretnya usaha pengembangan perfilman nasional.

Hasil temuan pada bab kedua ini berasal dari survei CPRC yang dilakukan pada Temu Komunitas Film Indonesia tahun 2016 dan survei daring yang dilakukan Pusbangfilm 2017. Kedua survei tersebut tidak terlalu memperlihatkan temuan yang berbeda. Beberapa temuan tersebut antara lain bahwa komunitas film terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan aktivitas yang didominasi oleh pemutaran, kedua produksi, kemudian pengarsipan, dan terakhir adalah kajian. Dengan demikian, jika mengacu pada survei ini, maka kegiatan komunitas adalah seputar pemutaran, produksi, arsip, dan kajian. Memang bukan tidak mungkin satu komunitas melakukan lebih dari satu aktivitas. Temuan menarik ada pada aspek pendanaan, bahwa sekitar 46% komunitas film di Indonesia memiliki pendanaan rutin. Komunitas dengan pendanaan rutin ini memang didominasi oleh komunitas berbasis kampus atau sekolah, dimana memang sudah ada alokasi khusus bagi kegiatan mereka. Sisanya tentu saja dengan usaha swadaya, donasi hingga bantuan lembaga donor (filantropi). 

Perkara usaha mencari sumber pendanaan, sebenarnya berkaitan erat dengan bahasan pada bab ketiga, yaitu soal bagaimana negara menafsirkan apa dan siapa komunitas film. Deden Ramadani menjelaskan bagaimana beberapa program fasilitasi pendanaan film baik dari Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangilm), Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Kementerian UMKM) dan Dinas Kebudayaan DIY memiliki tafsir yang berbeda tentang apa dan siapa itu komunitas film. Bagi Pusbangilm, komunitas film adalah penyelenggara perfilman yang berhubungan dengan film dan bersifat nonkomersial. Sedangkan menurut Kementerian UMKM, komunitas film dimaknai sebagai kelompok dengan aktivitas usaha. Dari Pusbangfilm dan Kementerian UMKM saja sudah terlihat perbedaan, yaitu soal komersial atau non komersial. Lain lagi dengan BEKRAF, yang menggunakan definisi lebih cair dengan menyebut komunitas kreatif. Artinya mau berorientasi laba atau tidak, komunitas kampus hingga rumah produksi, dapat digolongkan sebagai komunitas kreatif. Namun BEKRAF mensyaratkan komunitas ini berbadan hukum. Perbedaan definisi ini bukannya tidak berdampak apapun. Menurut Deden, ketiadaan definisi bersama tentang apa dan siapa komunitas film membuat skema keberlanjutan bantuan dan fasilitasi pemerintah kepada sulit dipastikan. Selain itu UU Perfilman juga belum memiliki peraturan turunan pada level Peraturan Daerah (Perda). Ketiadaan Perda yang menjadi turunan UU Perfilman memang mempersulit ruang gerak yang sekiranya dapat mempertemukan kepentingan pemerintah dengan komunitas film. Entah siapa saja pihak yang seharusnya bertanggung jawab menyelesaikan Perda ini.

Sebagai penutup Bab 3, Deden menjelaskan bahwa harapan pendanaan dengan mekanisme yang lebih aksesibel dan jangka panjang adalah skema dana perwalian kebudayaan atau dana abadi kebudayaan. Sektor pendidikan sudah jauh lebih dulu memiliki dana abadi pendidikan melalui skema LPDP. Dana abadi kebudayaan ini sudah direncanakan sejak 2018, dan belum dilaksanakan hingga buku ini ditulis tahun 2019. Baru pada 2022 ini Kemendikbud-Ristek meluncurkan Dana Indonesiana sebagai implementasi dana abadi kebudayaan. Karena baru berjalan pada tahun pertama, belum terlihat dampak terukur program ini pada para pegiat komunitas film. 

Bagi Deden, pada dasarnya komunitas film tetap dapat beraktivitas baik dengan bantuan pendanaan pemerintah atau tidak. Tetapi justru situasi ini jangan sampai dinormalisasi oleh pemerintah hingga mereka mengabaikan kewajiban pelayanan publiknya. Dengan demikian, pada dasarnya inisiatif dari pemerintah tetap dibutuhkan untuk menunjang daya hidup komunitas dalam rentang usia yang lebih panjang. Sudah terlalu lama kita mendengar situasi tidak pasti yang membuat komunitas membuat rencana kerja jangka pendek dan cenderung responsif (spontan) agar dapat secara luwes menyelaraskan diri dengan peluang yang ada.

*****

Selain terdiri dari 3 penulis utama, Antarkota Antarlayar juga melibatkan 4 peneliti lokal yang masing-masing mewakili wilayahnya, mereka adalah Ade Nuriadin (Palu), Muhammad Akbar Rafsanjani (Aceh), Feranda Aries (Makassar), Herr Raditya Mahendra (Yogyakarta). Kehadiran 4 peneliti lokal ini penting karena (sepertinya) 3 penulis utama tidak berdomisili di setiap wilayah komunitas yang dijadikan sampel. 

Bab 4 yang bercerita tentang lingkup sinema Aceh ditulis oleh Deden Ramadani. Aceh berhadapan dengan sekian banyak tantangan, bencana tsunami, operasi militer yang berakibat kekerasan dan konflik berkepanjangan, peraturan syariat islam yang menuntut berbagai aturan lain perkara sensor dan ruang menonton. Kemudian lahirnya Aceh Documentary menjadi penanda penting. Pasca keikutsertaan Jamaluddin Phonna dan Azhari dalam kompetisi Eagle Awards pada 2013, mereka bertekad untuk mengembangkan perfilman Aceh yang lebih konsisten. Aceh Documentary kemudian memberikan efek domino berupa hidupnya kegiatan perfilman aceh dari segi produksi, eksebisi dan apresiasi. Catatan menarik dari pergulatan komunitas film Aceh adalah sumber pendanaan. Aceh Documentary mengandalkan pendanaan dari pemerintah. Ada dua jenis sumber dana, berasal dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Karakter pendanaan pun terbagi dua, pertama yang memfasilitasi kegiatan film dan kedua adalah dukungan pada aktivitas non-film. Kemampuan suatu komunitas dalam mengakses, mengelola, dan mempertanggungjawabkan penggunaan dana publik memang tidak dimiliki oleh semua orang/ komunitas. Dalam hal ini tentu komunitas film di Aceh, khususnya Aceh Documentary sudah selangkah lebih maju. Skema pendanaan bersumber dari fasilitasi pemerintah yang umumnya cenderung kaku dan birokratis harus dicermati dengan kecerdikan tersendiri, apalagi melihat berlapisnya wilayah kerja komunitas dan ekosistem film. Dua hal yang masih ingin diwujudkan oleh kawan-kawan pegiat film di Aceh adalah berdirinya sekolah film dan bioskop.

Berikut bab 5 dan 6 bicara soal komunitas film di Makassar dan Palu. Kedua bab ini ditulis oleh Adrian Jonathan. Jika komunitas film Aceh melihat Eagle Award sebagai momentum, di Makassar, fenomena film Uang Panai tahun 2016 menjadi penanda penting. Kesuksesan film bioskop dengan bahasa dan isu lokal ini menumbuhkan gairah produksi film panjang dengan isu lokal di Makassar. Secara berturut, Uang Panai memantik banyak produksi film panjang serupa dengan harapan menjaga momentum pasar. Sayangnya momentum ini tidak bertahan lama, karena hingga 2019, pencapaian terbaik film Makassar pasca Uang Panai hanya menyentuh angka 244 ribu tiket lewat film Anak Muda Palsu. Menariknya, fenomena Uang Panai yang melahirkan rentetan produksi serupa namun menemui kegagalan jumlah target penonton adalah: bahwa bagi pada pegiat film Makassar mulai melihat potensi pasar dan sumber daya manusia dalam kacamata yang lain. Lewat film pendek Arman Dewarti, Memburu Harimau (2012) menembus nominasi kategori film pendek terbaik FFI 2012 dan keberhasilan Aditya Ahmad dengan Kado (2018) yang meraih penghargaan Best Short Film di Venice International Film Festival membuktikan bahwa dengan membuat ekosistem yang lebih menyeluruh, pijakan perfilman Makassar akan lebih kokoh. Dan tidak semata reaksioner pada pencapaian jumlah penonton bioskop. Kekaguman sejenak ini justru mengesankan bahwa 562 ribu penonton Uang Panai adalah hasil kerja semalam. Demikian juga yang ditulis Adrian, bahwa perfilman Makassar perlu mendorong upaya mewujudkan ekosistem film tidak hanya pada aspek produksi, tetapi juga edukasi, eksebisi, dan apresiasi.

Tentang bagaimana perkembangan dunia film sedang diestafetkan pada generasi lebih muda adalah bahasan utama pada Bab 6 yang bertajuk “Lika-liku Sinema Palu di Tangan Pelaku”. Dia adalah Mohammad Ifdhal, generasi mutakhir filmmaker Palu yang justru semakin produktif pasca wilayah ini diguncang gempa pada September 2018. Tahun 2019 Ifdhal mendapat pendanaan kegiatan dan produksi film dari [Anti Corruption Film Festival] ACFFest, Goodpitch dan Pusbangfilm untuk 3 projek film yang berbeda. Bagi Ifdhal, peristiwa gempa memaksa warga menata ulang lanskap sosialnya dan sekaligus menjadi momentum orang-orang Palu mempertanyakan kembali identitasnya. Sebelum Ifdhal, Yusuf Radjamuda (Papa Al) dikenal sebagai sineas Palu senior yang karyanya sudah beredar di berbagai kancah festival film. Berbeda dengan Ifdhal, Papa Al harus menunggu sekitar 10 tahun sampai akhirnya dirinya bisa memproduksi film dengan sumber daya dari luar Palu. Artinya dalam kurun waktu tidak kurang dari 20 tahun, kesempatan dan peluang pendanaan film sudah cukup berubah. Papa Al memulai produksi film pada pertengahan 2000-an dengan serba otodidak. Sedangkan hari ini, terhitung sejak pasca 2010-an, simpul jejaring dan berkomunitas lebih mudah diakses. Maka tidak mengherankan jika terjadi kultur yang sedikit berbeda antara generasi Papa Al dengan generasi Ifdhal. Satu benang merah dari kiprah Papa Al dan Ifdhal adalah bahwa kegiatan perfilman di Palu umumnya berlandas pada usaha personal, minim  faktor yang berasal dari luar lingkar pelaku film atau pegiat budaya secara umum. Sebuah kondisi yang membuat pelaku kegiatan perfilman Palu tidak banyak yang berusia panjang. Terhitung sejak keterlibatan sineas Palu pada Festival Film Solo tahun 2010, hanya tinggal Papa Al yang masih konsisten. Bagi kawan-kawan segenerasi Papa Al, film adalah kegiatan yang baru bisa dijalankan kalau ada cukup uang dan waktu. Dengan kata lain, kegiatan berfilm tidak bisa menjadi jaminan bertahan hidup. Singkatnya dalam konteks sinema Palu, kesempatan untuk berkarya adalah sebuah privilese. Memang jika dilihat ulang, bahkan sampai generasi Ifdhal, kesempatan pendanaan hadir dari luar Palu. Artinya belum ada perubahan signifikan yang berasal dari ekosistem perfilman setempat. Adrian berujar bahwa kisah eksistensi sinema Palu memang terdengar bergitu romantik arena berkait erat dengan kegigihan pelaku di akar rumput. Tanpa ekosistem seni-budaya yang mumpuni, wajar jika kemudian sinema Palu terkesan begitu ringkih karena hanya berganutng pada daya tahan para pelakunya. Menurut Adrian, jika dibandingkan dengan infrastruktur film dan situasi komunitas di kota-kota lain, isu perfilman di Palu terbilang sangat mendasar, yaitu keberlanjutan. Kerentanan yang sudah hadir jauh sebelum gempa Palu 2018.

“Dinamika Baru Bersama Danais” yang ditulis oleh Levriana Yustriani menjadi penutup dari buku ini. Sebagai bab terakhir, buku ini rasanya ingin menutup pembahasan dengan menunjukan bagaimana kita masih bisa berharap bahwa kerja komunitas film dapat bersinergi dengan kebijakan pemerintah. Singkatnya Jogja sebagai daerah istimewa, sejak tahun 2013 mendapat anggaran khusus dari negara yang bernama dana keistimewaan (Danais). Danais inilah yang kemudian berperan cukup penting dalam keberlangsungan kerja komunitas film Jogja. Bahwa benar, sebelum adanya Danais, komunitas dan pegiat film Jogja sudah melahirkan berbagai karya-karya film yang ikonik dan festival film berskala internasional (JAFF dan FFD). Para sineas tersebut masih bertahan dan tetap eksis berkarya hingga hari ini. Dan meski lama-lama terasa seperti hanya menjalankan rutinitas tahunan, JAFF dan FFD juga tidak pernah absen dalam mengisi agenda akhir tahun di Jogja. Menurut Levriana, komunitas film di Jogja sudah membentuk ekosistem lokal. Dukungan formal dari negara kemudian hadir memberikan dinamika baru.

Jika dirata-rata, alokasi Danais untuk sektor kebudayaan sejak 2013-2022, berkisar di angka Rp 500 miliar setiap tahunnya. Sekitar 70% anggaran Danais dialokasikan untuk kebudayaan, sisanya kemudian dibagi pada sektor tata ruang, pertanahan, kelembagaan, dan pengisian jabatan. Sekilas mengenai besaran alokasi Danais pada setiap sektor bisa diakses melalui tulisan pada sumber ini. Sedangkan alokasi Danais pada sektor kebudayaan khususnya film digunakan untuk berbagai kegiatan, mulai dari produksi film pemutaran film, festival hingga lokakarya. Sekitar 60% anggaran digunakan untuk produksi film. Alokasi Danais pada sektor kebudayaan ini dikelola oleh Dinas Kebudayaan, mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/ kota. Selain aspek produksi film, alokasi Danais sektor film juga diberikan pada JAFF dan FFD. Tulisan Levriana tidak merinci berapa besaran dana yang diberikan pada dua festival film internasional ini. Danais juga mendanai program eksebisi dan film melalui Klub DIY Menonton.

Levriana menandai bahwa Danais yang mendukung aktivitas perfilman Jogja telah memberikan dampak positif pada dua hal. Pertama membuka jalan para sineas muda Jogja untuk mengembangkan pengalaman dan portofolio. Kedua adalah berjalannya pola kerja dua arah dalam mendukung dan meningkatkan kapasitas komunitas film. Poin kedua memang masih menjadi pekerjaan rumah bagi implementasi Danais. Seperti pada umumnya peraturan anggaran dan tata kelola pemerintah yang kaku, implementasi Danais masih bergelut dengan persoalan optimalisasi penyerapan anggaran. Tuntutan ini membuat program kerap terlaksana hanya sekadar untuk memenuhi kuota dan mengugurkan tanggung jawab.

Judul buku ini adalah Antarkota Antarlayar. Jadi dalam bayangan kami, ada pembicaraan dalam porsi yang seimbang antara problem kota dan problem sinema. Namun pembacaan kerja komunitas di Aceh, Makassar, Palu dan Jogja memang lebih mendalami persoalan ekosistem film, tidak terlalu dalam soal problem kota yang diulas. Di satu sisi, buku ini bisa fokus pada masalah film. Di sisi yang lain, kita memang tidak mendapat gambaran lebih dalam tentang problem sosial yang mendasari dinamika perfilman pada setiap daerah. Sehingga terasa ‘jarak’ antara penulis dengan situasi di lapangan. Barangkali seharusnya 4 peneliti lokal diberi porsi yang lebih daripada sekadar pengumpul data. Pengalaman keseharian mereka beraktivitas dalam di setiap wilayahnya mungkin bisa memberi kedalaman yang lebih.

*****

“Mengapa Orang Film Berkomunitas?” ditulis oleh Adrian. Bab pembuka ini menuliskan refleksi pengalaman selama Adrian berinteraksi dengan berbagai komunitas. Interaksi Adrian dengan kegiatan komunitas film memiliki intensitas kedekatan dan tujuan yang berbeda-beda. Ragam pengalaman ini yang rasanya mendasari klasifikasi ragam karakter komunitas film yang dijabarkan pada bab-bab berikutnya. Berkuliah di Jogja tahun 2006, membawa Adrian bertemu dengan pondok setengah kafe setengah bioskop unik yang bernama Kinoki. Lewat Kinoki, Adrian melihat bahwa komunitas adalah ruang yang penuh spontanitas dan kesederhanaan (seadanya). Selepas kuliah tahun 2011, Adrian mengenal Kineforum, sebuah ruang menonton yang jika dibandingkan Kinoki, jauh lebih elit, mewah dan mapan. Namun dalam berbagai perbedaan pola kerja dan fasilitas, keduanya sama-sama menawarkan film alternatif. Jenis-jenis film yang rasanya mustahil tayang di jaringan bioskop komersil apalagi televisi. Selain film, publik Kineforum dan Kinoki cenderung serupa, anak muda seumuran mahasiswa. Pengalaman berbeda ditemui Adrian ketika menyambangi Festival Film Purbalingga (FFP). Berbeda dengan Kineforum dan Kinoki, FFP memutar film-film karya pelajar setempat dengan penonton mayoritas seusia murid SMP/ SMA serta beberapa orangtua murid dan guru. Ruang eksibisi FFP juga berbeda, yaitu ruang tengah sebuah lobby hotel. Pada ruang putar yang lain, FFP memutar film dengan konsep layar tancap di sebuah lapangan luas dengan penonton petani hingga pekebun yang tinggal di sekitar lokasi acara.

Rangkuman pengalaman berinteraksi dengan 3 komunitas di 3 kota berbeda ini sebagai ilustrasi akan cairnya kerja komunitas film di Indonesia. Data atas ragam praktik komunitas film  secara rinci dipaparkan pada bab 2. Bagi Adrian: “Apa-apa yang bukan bagian dari perfilman arus utama—spesifiknya, kegiatan perfilman yang tidak bermuara di bioskop—lalu bisa disebut komunitas film”. Menurutnya, istilah komunitas film memiliki bobot serupa dengan “indie” atau “independen” untuk generasi sebelumnya. Pada praktiknya, ragam, karakter dan pegiat komunitas film sangat beragam, meski masih didominasi oleh komunitas berbasis kampus dan sekolah, membuat definisi baku tentang komunitas film sulit dilakukan. Persoalan ini akan lebih jauh diulas pada Bab 3, tenang bagaimana usaha-usaha memaknai komunitas agar tercipta satu kebijakan yang inklusif bagi siapapun tanpa terkecuali.

Adrian kemudian menarik rentang sejarah cukup jauh, ketika komunitas film masih lebih dikenal dengan nama Kine Klub. Liga Film Mahasiswa (LFM) Universitas Indonesia dan ITB tercatat sebagai Kine Klub paling awal, yaitu tahun 1950-an. Kemudian agenda tahunan Festival FIlm Mini yang kemudian melahirkan Sinema 8 pada awal 1980-an. Sinema 8 dianggap komunitas “independen” pertama di Indonesia. Independen dalam artian sepenuhnya diupayakan mahasiswa, bukan dosen. Spirit Sinema 8 kemudian diteruskan oleh Forum Film Pendek. Festival Film Mini, Sinema 8, dan Forum Film Pendek adalah contoh bagaimana komunitas film berfokus pada eksperimentasi medium film, khususnya lewat film pendek yang dalam keterbatasannya justru dianggap memberi keleluasaan untuk bisa lebih personal dan ekspresif. Pasca reformasi, Festival Film-Video Independen Indonesia (FFVII) tahun 1999 menandai titik temu komunitas film dengan spirit yang berbeda. Independen dalam FFVII merujuk pada reaksi keras atas praktek-praktek dominasi media dalam sektor teknologi, industri, estetika, politik dan ekonomi. Memang bahwa industri film tahun 1990-an lesu akibat dominasi film asing dan film esek-esek. FFVII digelar atas prakarsa Komunitas Film-Video Independen (Konfiden). FFVII memang bicara dalam konteks yang luas, hingga akhirnya awal 2000-an komunitas film di berbagai kota menggelar festival film yang mengerucut pada isu sosial-politik setempat., Malang Film-Video Festival (MAFVIE) pada 2004, Festival Film Dokumenter (FFD) tahun 2002, Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) dan festival Film Purbalingga tahun 2006 adalah beberapa contoh festival film yang lahir baik dari komunitas film, Kine Klub, atau inisiasi sekelompok pembuat film, mahasiswa dan aktivis.

Festival dan komunitas film hadir tidak hanya sebagai gerakan, tetapi juga sebagai metode dan kritik pada nilai yang membingkai film hanya dalam ranah transaksional (industri/ jual-beli). Pada umumnya, komunitas melahirkan festival film, kebanyakan hadir dengan spirit agenda sosial-politik hingga merayakan independensi. Secara ulang-alik, festival kemudian memantik rantai kegiatan komunitas film. Kegiatan komunitas ini pada akhirnya mengisi benang merah kekosongan ekosistem film. Sebagai sebuah gerakan, festival dan komunitas sama-sama bekerja dalam praktik yang kontekstual. Meskipun yang paling mudah ditemui adalah festival film dengan format rangkaian screening dan diskusi, tidak menutup kemungkinan bahwa dengan melihat ulang identifikasi problem setiap wilayah, festival film bisa memiliki berbagai macam bentuk dan format. Maka pembahasan terhadap tema ini bisa meluas sekaligus menyempit, membicarakan sedikit tentang banyak hal tetapi juga mengulas banyak tentang sedikit hal.

*****

Bagian menarik lain dari buku ini adalah ulasan bagaimana cara setiap komunitas film bertahan hidup. Umumnya, kegiatan komunitas memang berasal dari pendanaan mandiri, namun penelitian CPRC ini memberikan berbagai gambaran kemungkinan yang lain. Melewati 2010, Adrian memaparkan beberapa peluang pendanaan yang berasal dari skema pemanfaatan dana publik dan program pemerintah. Melalui Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangilm), Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga pemerintah daerah Jogja lewat Dana Keistimewaan (Danais), menjadi babak baru dalam dinamika perkembangan komunitas film beririsan dengan kehadiran negara melalui berbagai mekanisme dan perangkat regulasinya. Selain yang bersifat top-down, usaha berbentuk bottom-up juga dilakukan oleh para pegiat komunitas di Aceh, Makassar, Bandung, dan beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan mencari program dinas-dinas pemerintah yang selaras, khususnya yang melibatkan dokumentasi video atau pemberdayaan anak muda. Kemudian juga ada program dari festival film seperti Jogja Future Project dari JAFF dan Docs by the Sea dari In-Docs yang turut menjadi bagian penting dalam profesionalisasi pola kerja komunitas film. 

Profesionalisasi ini tidak menutup kemungkinan akan lahirnya komunitas film bentuk baru. Luruhnya batasan komunitas film yang cenderung “alternatif” ke dalam “arus utama” pasar dan negara menandai pergeseran fungsi komunitas yang sedari awalnya ruang klangenan, menjadi bidang usaha. Pertimbangan ekonomi dan legal-formal kini menduduki posisi penting dalam usaha diskusi eksistensi suatu komunitas. Dikatakan bahwa jika situasi ini terus berlanjut dan kerja komunitas terserap juga ke dalam arus utama, bukan tidak mungkin kedepannya kita akan bertemu dengan bentuk “alternatif” komunitas film yang belum pernah ada sebelumnya. Terlihat Adrian sedang menandai periode ini sebagai fase penting dalam jejak perjalanan komunitas film di Indonesia. Sebelumnya, komunitas film lekat dengan frasa: melahirkan alternatif, merayakan eksperimentasi, hingga memperjuangkan independensi. Berbagai peluang pendanaan memang sedikit banyak menuntut profesionalisasi dan formalisasi kerja komunitas yang awalnya cenderung informal dan cair. Pertanyaannya dapatkah semangat-semangat tersebut bertahan di tengah tuntutan menjadi formal dan profesional? Atau jangan-jangan usaha menjadi alternatif, eksperimental dan independen tidak berkaitan dengan apapun bentuk komunitas filmnya?

Bab pertama ini berjudul kalimat tanya “Mengapa Orang Film Berkomunitas?”, yang setelah dibaca ternyata memang sulit menemukan jawaban gamblang atas pertanyaan tersebut. Dan bagian terbaik buku ini ada pada bab pertama. Kami membayangkan justru lebih mengena jika pertanyaan epistemik pada judul bab pertama buku sekaligus menjadi petunjuk kemana kita akan mengarahkan perbincangan tentang komunitas film di tengah arus perubahan mutakhir. Ketika pola kerja komunitas film tengah memasuki fase transisi, pertanyaannya kemudian mengarah pada mengapa para pegiat komunitas bersedia mengikuti perubahan ini? Nilai apa yang sedang diperjuangkan ketika komunitas film mereka dituntut menjadi formal dan profesional?. 

Penulis:

Arsiparis dan pegiat film dari Jogja yang tergabung dalam kolektif film Cinemartani. Menjadi salah satu programmer Festival Film Dokumenter (FFD) tahun 2019 & 2022. Pada tahun 2019 menjadi salah satu grantees Asia-Europe Foundation (ASEF) untuk berkunjung ke Manila, Filipina melakukan riset yang bertajuk “Re-definition from the Bottom”. Tahun 2018-2021, bekerja sebagai arsiparis di Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Pada tahun 2023-2024 terlibat dalam berbagai program residensi seperti Minikino X Toko Seniman di Denpasar, Bali, Crack Internasional Art Camp di Kushtia, Bangladesh dan Rimbun Dahan Southeast Asian Arts Residency di Selangor, Malaysia

  1. 0 Komentar

Beri tanggapan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *