Menuntut yang Tak Mungkin: Selepas Sedekade Film Danais

Sepanjang 10 tahun terakhir, mungkin sejak sekitar 2013-2014, ketika sebagian ‘kecil’ Danais mulai disisihkan untuk program kompetisi pendanaan produksi film, saya selalu memutar otak dan tidak jarang kehabisan akal untuk mencerna pernyataan bahwa film-film yang diproduksi dengan Danais1 itu mewakili problem-problem yang Jogja Banget. Pun pada Jumat 26 April 2024 lalu, ketika digelar gala premiere film danais produksi tahun 2023 di Empire XXI. Sekilas soal danais dan gambaran besaran nominalnya, Dana Keistimewaan (Danais) adalah salah satu turunan dari UU Keistimewaan yang disahkan sejak Agustus 2012. Tahun 2022, alokasi Danais mencapai Rp. 1,3 Triliun.2 Hampir setiap tahun hingga 2023, alokasi terbesar Danais digelontorkan untuk sektor kebudayaan. Tahun 2023, angkanya menyentuh Rp. 731,6 miliar atau 55,43%, lebih dari setengah dari total danais dalam setahun disisihkan untuk kerja-kerja kebudayaan. Jumlah ini sekitar 3 kali lipat dari anggaran Danais bidang kebudayaan tahun 2021. Untuk tahun 2023 lalu, danais naik menjadi 1,42 Triliun.3 Sebagian dari dana inilah yang disisihkan untuk melaksanakan program kompetisi pendanaan produksi film danais tahun 2023, yang melahirkan 5 film pendek, terdiri dari 3 fiksi, 2 dokumenter. Setiap film mendapatkan dana produksi yang sama, yaitu 180 juta.4

Pada pemutaran publik perdana tersebut, saya menonton 5 film yang diproduksi pada tahun 2023. Hampir seluruh film menyinggung soal hutang piutang, bahkan beberapa diantaranya menjadi problem utama. Dalam hal ini, hutang piutang yang muncul secara dominan ini bagi saya menunjukkan dua hal. Pertama, kejelian filmmaker untuk mengangkat isu yang dirasa aktual dan punya tingkat berkenaan tinggi dengan berbagai lapisan dan golongan masyarakat (penonton). Kedua, kecenderungan untuk menghadirkan konflik yang serupa/ homogen adalah bentuk kemalasan untuk menggali konflik dengan konteks yang lebih dalam. Kenapa? Karena hutang sudah dengan sendirinya akan menjadi problem yang memiliki sifat keterdesakan tinggi. Jadi cara termudah untuk membuat (memaksa) konflik dan dramatik film bergulir, ya dengan menempatkan soal hutang piutang sebagai latar konflik. Dari seluruh film yang membicarakan soal hutang, sayangnya hampir tak ada pula yang berhasil menggali lebih dalam apa konteks dan sebab musabab para tokoh dalam film ini berhutang.

Dalam film-film danais 2023 ini, hutang hanya hadir sebagai sebab. Padahal hutang adalah akibat dari sebuah perilaku. Ketika sebab dari lahirnya perilaku ini tidak dijelaskan, maka kita patut curiga. Bahwa para pembuat film ini bukannya peduli, berempati dan punya keberpihakan pada persoalan tersebut. Namun, semata hanya melihatnya sebagai objek eksotis yang bisa dicomot untuk memotori unsur-unsur dramatik filmnya.

Saya ulangi, kenapa keserupaan ini saya nilai sebagai kemalasan, karena hutang sejatinya adalah akibat, bukan sebab. Maka sebenarnya dengan sedikit pengembangan cerita saja, sebuah film bisa menunjukan perilaku apa yang menyebabkan seseorang berhutang. Pilihan untuk mengeksplorasi ini tentu sangat banyak, bisa karena gaya hidup yang melebihi penghasilan, kebiasaan buruk berjudi, desakan kebutuhan mendadak, dan sebagainya. Bahkan dalam konteks negara pun ketika berhutang pada IMF atau World Bank, tentu tak pernah tanpa sebab. Ada alasan dibalik itu, baik itu menuntaskan pembangunan ibukota baru dan kereta cepat, memenuhi stok pangan dan persediaan logistik, atau membayar uang ganti rugi warga yang asetnya terimbas proyek strategis nasional. Kalaupun ingin menggambarkan secara tidak langsung bahwa kemiskinan yang menjadi sebab orang berhutang, ini juga menuntut penjelasan lain. Perlu diperlihatkan, ruang sosial macam apa yang membuat kemiskinan tidak diatasi terlebih dahulu lewat relasi dan jejaring antar warga. Padahal, gotong-royong adalah kolektivitas alami masyarakat Indonesia untuk mewujudkan kerja yang bersifat timbal balik.5 Ketika ini juga nihil hadir dalam film, saya rasa tidak aneh kalau muncul berbagai pertanyaan soal latar situasi yang memaksa seseorang berhutang.

Kembali pada poin awal, apakah soal hutang piutang ini yang dimaksud oleh kurator pada talkshow gala premiere film danais Sabtu 27 April 2024 di Hotel Grand Kangen sebagai problem yang Jogja Banget?.6 Pada kesempatan itu pula, Mas Budi Irawanto, salah satu kurator program ini, menyatakan bahwa belum pernah ada film yang mengangkat tentang bakmi. Salah satu film danais 2023 ini ada yang berjudul Bakmi Kangen Rasa. Film ini bercerita tentang seorang lelaki yang menolak mewarisi warung bakmi peninggalan ayahnya dan berencana menjual rumah tersebut karena dirinya terlilit hutang. Dalam film ini, bakmi hadir sekilas saja, dengan kedalaman yang sangat tipis soal rasa, bahan dan aspek-aspek gastronomi di dalamnya. Konflik film ini kemudian digerakkan oleh konflik seputar hutang piutang. Kalau kemudian yang dibanggakan dari film ini adalah hadirnya bakmi, tapi lantas tidak ada pendalaman pada anasir yang dibanggakan ini, artinya andaikan pun bakmi diganti dengan papeda, rendang, mie aceh, toh ya tidak akan terasa bedanya. Karena sepanjang film yang pendek ini, bukan bakmilah ihwal utamanya. Dari film ini, klaim Jogja Banget sudah mulai meragukan.

Ada lagi film Lampahing Cakra, yang mengangkat tentang pemimpin Kelompok Kesenian Leak, Cakra Sudarsana. Film ini memperlihatkan bagaimana Leak sebagai kesenian tradisional yang hidup di Jogja dengan representasi sangat mistis, ternyata dimiliki oleh seorang ibu muslim yang berbagai ritus agamanya dicitrakan dengan sangat profun. Apakah perpaduan islam dan elemen-elemen sinkretik inilah yang disebut Jogja Banget?. Elemen sinkretis dan mistisme juga muncul pada dua film lain, Mancing Mayit dan Suintrah. Kedua ini film juga mengangkat soal hutang piutang, tapi dengan cara dan porsi elaborasi seperti yang sudah saya uraikan di atas. Apakah kedua hal ini bisa yang disebut sebagai Jogja Banget? Atau mungkin baru sah disebut Jogja Banget ketika film tersebut hampir seluruhnya mengambil gambar di Jalan Malioboro seperti dalam film Dolanan Kota?

Diantara seluruh film danais 2023, Dolanan Kota adalah film yang paling saya suka karena beberapa alasan. Pertama, meski film tentang penjual asongan mainan tradisional ini menjadikan warga miskin yang terpinggir oleh pembangunan jantung kota jogja (Malioboro), yang termasuk dalam area sumbu filosofi, sebagai subjek utama, tidak terjebak untuk mengeksotisasi kemiskinan rakyat kota. Untungnya, film ini berhasil tidak hanya memperlihatkan isak tangis subjek utama, tapi juga resistensi diantara sesama masyarakat rentan dihadapan represi penguasa. Resistensi mereka terlihat melalui ‘koordinasi’ di antara sesama penjual asongan untuk menghindari razia dan cara mereka memutar uang untuk modal produksi. Selain itu, judul Dolanan Kota juga membawa kita pada interpretasi bahwa yang dimaksud dolanan tidak hanya merujuk pada mainan tradisional yang dijual, tetapi si bapak dan kelompok marjinal inilah yang menjadi ‘mainan’ dari pembangunan kota yang tidak berpihak pada masyarakat kecil dan mengabaikan eksistensi kelompok rentan. Kota, dalam hal ini sebagaimana yang diistilahkan Aldo Rossi sebagai artefak sosial, sebuah arena negosiasi sosial.7 Meski pada kenyataannya, tidak mencerminkan nilai atau harapan warga. Ada ketidakberdayaan warga di tengah pembangunan kota oleh negara. Kemudian secara bertahap modal korporasi mulai turut membentuk ruang publik dan privat perkotaan.8 Saya senang melihat bagaimana film yang diproduksi dengan dana publik (Danais) ini memberi suara pada mereka yang voiceless. Setidaknya bisa mewakili suara publik untuk punch up, melihat problem sosial sebagai masalah struktural dan sistemik. Bukan semata konflik yang hadir secara horizontal di kalangan sesama masyarakat di luar lingkar kekuasaan dan penentu/ pelaksana kebijakan. Sebagai orang yang tidak punya ekspektasi tinggi pada film-film danais, ada 1 diantara 5 film yang bisa berpihak sebagaimana posisi tersebut, sudah cukup menyenangkan. Nah, apa kesenangan ini cukup menjawab bahwa inilah film yang Jogja Banget?

Rasanya justru begini, hari ini sepertinya semakin sulit bagi kita untuk membatasi bahwa suatu problem sosial hanya terjadi di satu tempat dan tidak terjadi lagi dimanapun yang serupa. Mungkin bisa menjadi sangat khas dalam konteks geografis dan wilayah konflik, tetapi jika kita bedah dimensi lain secara lebih dalam, problem-problem di Jogja juga pasti beririsan dengan wilayah lain. Atau setidaknya ada keserupaan dalam pola konflik yang terjadi. Bahwa problem utang piutang, pembangunan yang hanya menguntungkan kehendak ‘raja dan tuan tanah’, kegaliban agama yang berakulturasi dengan hal-hal sinkretik, juga terjadi di tempat-tempat lain di luar Jogja. McLuhan mengatakan bahwa dunia menjadi global village, sebuah village masif yang sudah kehilangan kohesi sosial dan ideologi. Baudrillard melukiskan situasi ini dengan ungkapan implosion. Dimana media massa telah menyatukan manusia kemudian membiarkannya meledak ke dalam; batas-batas tradisi, geografi, bangsa, ideologi dan kelas, cair luluh begitu saja.9

Saya khawatir, semakin tegas klaim seolah bahwa problem-problem dan hal-hal remeh tersebut sebagai Jogja Banget, semakin sulit kita melihat perkara-perkara ini sebagai pasal-pasal struktural dan sistematis yang terkait dengan berbagai dimensi public policy. Semakin juga saya menduga ini jawaban kenapa hanya 1 diantara 5 film yang mampu menampilkan problem dalam perspektif yang vertikal, tidak hanya horizontal. Apakah kita perlu menormalisasi bahwa film-film danais bukan tempatnya secara gamblang bicara masalah sosial sebagai problem struktural karena ada logo dinas kebudayaan di awal film? Apakah narasi berkelit dan berbelit-belit semacam ini yang dimaksud sebagai Jogja Banget?

Sebagai penutup, saya ingin cerita sedikit tentang pertanyaan yang saya ajukan pada talkshow hari Sabtu tersebut. Saya bertanya “Mungkinkah diciptakan suatu mekanisme yang membuat para penerima danais membuka ke publik berkenaan pengelolaan dan alokasi dana produksi 180 juta untuk setiap filmnya?”. Usulan ini hadir karena saya kerap mendengar pertanyaan yang muncul selepas menonton film-film danais, yaitu rasa penasaran soal bagian mana dari produksi film semacam ini yang menghabiskan 180 juta. Saya rasa pertanyaan ini cukup jelas dan mudah dipahami. Bahwa saya pada intinya bukan menanyakan perihal 180 juta dihabiskan untuk kebutuhan apa saja, tetapi soal kebolehjadian dibuatnya mekanisme adanya forum publik soal laporan keuangan.

Bagi saya ini penting, karena dalam pengelolaan dana publik, prinsip utama yang harus dipegang transparansi dan akuntabilitas. Keduanya saya rasa prinsipil dan senantiasa relevan untuk diwujudkan. Karena masih hangat betul dalam ingatan betapa saya jengkel mendengar kabar kunjungan kerja (kunker) massal 100 orang lebih pegawai Dinas Kebudayaan DIY ke Bali pada pertengahan Desember 2022.10 Ada narasumber yang mengatakan bahwa kegiatan ini terpaksa dilakukan karena penyerapan anggaran kebudayaan tahun 2022 jauh dari rencana realisasinya. Karena bahkan hingga Juli 2022, Danais baru terserap 6,81 persen.11 Meski pada akhirnya, penyerapan anggaran danais di sektor kebudayaan mencapai lebih dari 98%,12 tetap saja ini tidak menggugurkan fakta adanya perjalanan ‘mendadak’ yang menghabiskan nilai miliaran rupiah tersebut. Tanpa transparansi dan akuntabilitas, kepedulian bisa seketika berubah sekadar menjadi kecurigaan penuh prasangka.

Pertanyaan dan tuntutan atas transparansi dan akuntabilitas bukan kejengkelan tanpa alasan, bukan pula kecemburuan tak berdasar. Tapi berangkat dari kepedulian atas fasilitas yang pada hakikatnya menjadi hak bersama, yaitu dana publik, tak terkecuali danais. Dimana seharusnya dikelola untuk mengusahakan redistribusi sumber daya, keadilan sosial, dan kesejahteraan ekonomi. Pada kesempatan itu, beberapa supervisor yang hadir justru menjawab dengan penjelasan bahwa 180 juta itu habis untuk fee crew, sewa kamera dan hal-hal teknis produksi lainnya. Padahal bukan ini inti perkara yang saya tanyakan. Tapi kita semua perlu diberi penjelasan, apakah anggaran senilai 180 juta itu tergolong besar atau kecil untuk ukuran produksi film pendek. Jangan dibayangkan bahwa semua orang paham, karena bahkan diantara pegiat film pun bisa saja masih meraba-raba pada soal ini. Maka sebenarnya tunjukkanlah akuntabilitas dan transparansi sepenuhnya pada tata kelola dana publik yang hakikatnya menjadi milik bersama ini.

Kalau masih kurang jelas, biar saya ulangi sekali lagi pertanyaan pada talkshow waktu itu: 

“Mungkinkah dibuat suatu mekanisme yang membuat para penerima danais membuka ke publik soal pengelolaan 180jt dana produksi film?”

Atau mungkin saja, semua narasumber sebenarnya sudah paham poin pertanyaan saya, jawaban yang tidak menjawab itu secara tidak langsung adalah cara mereka untuk memberi jawaban: tidak mungkin!. Boleh jadi saya yang terlalu naif sekaligus banal untuk menuntut sebuah ketidakmungkinan.

Kalau benar hal prinsipil semacam ini memang tidak mungkin diwujudkan karena berbagai kausa teknis birokrasi administratif, kultural, hingga politik, apalagi yang bisa kita tuntut dari pengelolaan film danais sepuluh, dua puluh, atau seratus tahun kelak? 

Atau jangan-jangan kebiasaan untuk malu-malu, canggung, rikuh dan tidak terbuka pada urusan anggaran inilah yang paling pas untuk disebut Jogja Banget?

  1. Soal film danais pernah saya tuliskan juga di https://cinemartani.com/2017/03/15/apa-yang-kau-cari-film-danais/ ↩︎
  2. Jokowi Tetapkan Rp 1,3 Triliun Danais Yogya 2022, Apa Saja Peruntukannya? (https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5799654/jokowi-tetapkan-rp-13-triliun-danais-yogya-2022-apa-saja-peruntukannya) diakses pada 14 Juli 2023 jam 13.56 WIB ↩︎
  3. Alokasi Dana Keistimewaan DIY Naik Rp100 Miliar pada 2023” (https://www.medcom.id/nasional/daerah/GKd2d7eb-alokasi-dana-keistimewaan-diy-naik-rp100-miliar-pada-2023) diakses pada 14 Juli 2023 jam 12.24 WIB ↩︎
  4. Disbud DIY Rilis Lima Film Angkat Kebudayaan Jogja (https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2024/04/26/510/1172552/disbud-diy-rilis-lima-film-angkat-kebudayaan-jogja) diakses pada 29 April 2024 jam 17.26 WIB ↩︎
  5. Bowen, John. (1986). “On the Political Construction of Tradition: Gotong Royong in Indonesia” pada The Journal of Asian Studies Vol. 45 No. 3, Mei 1986. ↩︎
  6. Dokumentasi talkshow ini bisa disaksikan pada https://www.youtube.com/watch?v=ETaWi9a8IMo ↩︎
  7. Rossi, Aldo, 1966, The Architecture of the City, London: MIT Press ↩︎
  8. Kent, Ellen dan Frans Ari Prasetyo. 2016. “‘Siasat’ – Taktik Artistik untuk Transgresi Kuasa Negara” dalam Jatiwangi Art Factory: Primbon Jatiwangi. Grace Samboh (Editor). Bandung: Yayasan Daun Salambar. ↩︎
  9. Sunardi, St. 2012. “Rakyat, Kerakyatan, dan Populer” dalam Vodka dan Birahi Seorang “Nabi”: Esai-esai Seni dan Estetika. Sistha Oktaviana Pavitrasari dan Nur Imroatus (Editor). Yogyakarta: Jalasutra ↩︎
  10. Anggaran Kunker Disebar, Dalihnya Penuhi Undangan (https://radarjogja.jawapos.com/jogja/65763193/anggaran-kunker-disebar-dalihnya-penuhi-undangan) diakses pada 20 Juli 2023 jam 21.29 WIB ↩︎
  11. Danais Baru Terserap 6,81 Persen hingga Juli, Pemkab Sleman Klaim Sesuai Target (https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2022/08/12/512/1108768/danais-baru-terserap-681-persen-hingga-juli-pemkab-sleman-klaim-sesuai-target) diakses pada 20 Juli 2023 jam 22.06 WIB ↩︎
  12. Laporan Realisasi Dana Keistimewaan Tahun Anggaran 2022 (https://www.dprd-diy.go.id/laporan-realisasi-dana-keistimewaan-tahun-anggaran-2022/) diakses pada 20 Juli 2023 jam 22.17 WIB ↩︎

Penulis:

Arsiparis dan pegiat film dari Jogja yang tergabung dalam kolektif film Cinemartani. Menjadi salah satu programmer Festival Film Dokumenter (FFD) tahun 2019 & 2022. Pada tahun 2019 menjadi salah satu grantees Asia-Europe Foundation (ASEF) untuk berkunjung ke Manila, Filipina melakukan riset yang bertajuk “Re-definition from the Bottom”. Tahun 2018-2021, bekerja sebagai arsiparis di Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Pada tahun 2023-2024 terlibat dalam berbagai program residensi seperti Minikino X Toko Seniman di Denpasar, Bali, Crack Internasional Art Camp di Kushtia, Bangladesh dan Rimbun Dahan Southeast Asian Arts Residency di Selangor, Malaysia

  1. 0 Komentar

Beri tanggapan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *