Gamawijaya adalah Sinema Kethoprak yang diproduksi oleh Walhi bersama warga Desa Wiromartani, Kec. Mirit, Kebumen. Boleh lihat akun IG @babadpinggiran untuk baca sinopsisnya.
Terlepas dari segala kekurangan teknis yang sebenarnya cukup minor, hal paling menarik dari Gamawijaya adalah kolektivitas warga dalam prosesnya. Terasa bagaimana warga memiliki film ini. Mulai dari riset, penulisan cerita, pemilihan cast, hingga strategi distribusi dibahas bersama-sama pasca pemutaran perdana Sabtu, 14 Januari 2023. Sepertinya ini berbeda dari tradisi authorship tunggal yang umumnya terjadi dalam dunia sinema.
Sinema kethoprak disebut sebagai salah satu inovasi seni pertunjukan tradisi dalam menyikapi berbagai pembatasan fisik dan sosial selama pandemi. Sementara itu, sedari tahun 1988 hingga 2003 kethoprak pernah hadir dalam konsep yang kurang lebih serupa. TVRI Jogja memiliki program yang bertajuk ‘Kethoprak Sayembara’. Kethoprak ini memadukan unsur ‘interior’ dan ‘eksterior’, serta memiliki cerita bersambung sebanyak 4 seri/ episode. Kethoprak sayembara adalah kesenian dengan kesadaran sinematik dan seni pertunjukan. Pernyataan ini disampaikan Heruwati, pengarah acara TVRI Jogja untuk program ‘Kethoprak Sayembara’, yang saya temui pada akhir Agustus 2022.
Dalam sejarahnya, kethoprak dikenal sebagai pertunjukan yang lahir dari golongan non-elit (massa rakyat) sebagai wadah kritik dan satir. Menurut Budi Susanto dalam Imajinasi Penguasa dan Identitas Postkolonial, kethoprak adalah sarana penting dalam mencipta kesadaran bersama di kalangan massa rakyat kecil, yang tidak memiliki hak dan peluang masuk ke bentuk-bentuk birokratis sebuah kekuatan politik.
Sedangkan film, melalui Nusa Jawa: Silang Budaya 1, Denys Lombard mengatakan bahwa film di Indonesia adalah seni impor murni. Barangkali benar dari aspek teknologi, tetapi logika naratif dan visual, cara bertutur dan kosa gambar tentu bukan barang impor. Sinema kethoprak barangkali jika dielaborasi lebih dalam bisa menjadi salah satu penanda estetika film indonesia. Sebuah wilayah kajian film indonesia yang perlu senantiasa diuji dengan berbagai disiplin pengetahuan. Berbeda dengan kethoprak, pada masa awal kelahirannya, film cenderung dibingkai sebagai produk hiburan. Hingga lambat laun mulai dimaknai sebagai medium penting dari kerja-kerja propaganda politik.
Kethoprak dan film adalah seni era modern dengan disiplin teknisnya masing-masing. Kethoprak menggunakan idiom-idiom tradisi wayang jawa namun berawal dari tradisi improvisasi ketika di atas panggung. Berbeda dengan konsep tonil, sandiwara hingga teater yang cenderung menggunakan naskah baku. Memasuki era sinema kethoprak, pada akhirnya kethoprak juga mengadopsi konsep naskah sebagaimana teater. Namun yang masih dipertahankan adalah aspek-aspek metafor dan berbagai idiom tradisi jawa yang justru kerap dimaknai ulang, mulai dari karakter raja hingga sosok Kanjeng Ratu Kidul.
Kethoprak dan film barangkali lahir dari embrio yang berbeda. Kehadiran sinema kethoprak melalui stasiun TV plat merah tahun 90-an adalah penanda penting. Tentu kita paham betul bagaimana pemerintah Orde Baru mengawasi media massa. Dengan demikian negosiasi sinema kethoprak memiliki berbagai dimensi. Tidak hanya pada cara mengolah teknologi dan perangkat digital, tetapi juga dalam menjalin cerita di antara tekanan dan pengawasan. Cerita demikian dituturkan oleh Agus (menantu SH Mintardja, penulis cerita silat dan berbagai naskah kethoprak) dan Nano Asmorodono (aktor kethoprak).
Bagi film sendiri, tahun 90-an adalah masa kelam dimana jumlah produksi film Indonesia menurun drastis. Menurut Salim Said, ini disebabkan minimnya penulis skenario berkualitas dan beralihnya budaya menonton dari bioskop ke televisi. Waktu itu juga produksi film rumahan belum semasif hari ini karena perangkat perekam audio visual cenderung masih eksklusif. Dekade 90-an, masyarakat mulai mempertanyakan identitas dan stabilitas nasional yang selama ini dikeramatkan oleh pemerintah orba. Situasi ini membingungkan kelas menengah yang berada di antara elit dan massa rakyat. Pada posisi inilah sinema kethoprak (kethoprak sayembara) hadir di masyarakat. Kethoprak sayembara dengan lakon ‘Kebranang Ing Gegayuhan’ berhasil menggaet 4 juta pengirim kartu pos penebak sayembara. ‘Kebranang Ing Gegayuhan’ tayang di TVRI Jogja pada Juli-Agustus 1994. Tingginya animo penonton kethoprak sayembara bukan kerja semalam, ada konstruksi nilai yang sudah dibangun bertahun-tahun terkait kethoprak, film dan situasi sosial politik yang sedang terjadi.
Sebagai penutup dari impresi awal dan singkat soal pertemuan dengan sinema kethoprak, saya ingin melanjutkan perbincangan lewat sebuah pertanyaan: bagaimana sinema kethoprak hadir sebagai satu bentuk dekolonisasi pengetahuan sinematik dan siasat perlawanan warga melalui seni pertunjukan?