Siapa yang layak menilai karya film? Bagaimana diri kita, atau setidaknya ada pengalaman diri yang terkait dan dicitrakan dalam film?. Rentetan pertanyaan ini adalah seputar identitas, aktualisasi diri, dan realitas film masa kini. Jika kita sepakat bahwa film adalah media. Maka kini media menjadi entitas yang bisa diciptakan siapapun, seolah tanpa batasan. Realitas ini berhadapan dengan definisi dan pengertian kaku tentang sinema yang dipraktekan di sekolah-sekolah film. Workshop ini berangkat dari kegelisahan itu. Kegelisahan atas jarak antara realitas media dengan identitas diri. Harus diakui bahwa identifikasi atas keduanya terlalu banyak dibebankan pada institusi pendidikan.
Apa yang kerap membatasi penilaian yang independen atas film? ada 3, yaitu definisi, periodisasi, dan canonism.
Sementara penilaian, evaluasi, review, apresiasi atau apapun itu yang lahir setelah kita menonton film, selalu berhadapan dengan standar. Standar inilah yang membuat apresiasi kadang dimaknai secara sempit hanya seputar komoditas puja-puji, jual-beli, atau jumlah penonton. Lantas, apakah berhak kita mengapresiasi film dengan standar yang kita ciptakan sendiri? Tentu bisa saja, tetapi namanya juga hak, boleh digunakan, boleh juga tidak. Yang jelas standar ini tidak lantas menjadi kewajiban, tetapi hak yang otoritasnya dimiliki oleh masingmasing dari kita.
Film, seperti seni pada umumnya selalu memiliki yang dinamakan sebagai, problem representasi.
Saya meyakini label film fiksi/dokumenter hanyalah sebuah metode penciptaan, bukan nilai yang mutlak, kenapa demikian? Mari kita maknai ulang bersama. Adalah keniscayaan bahwa film selalu termediumisasi melalui perangkat alat perekam, baik audio maupun visual. Sementara secanggih apapun alat, pasti memiliki keterbatasan. Perekam audio selalu hanya mampu merekam suara yang terdengar. Perekam visual juga dibatasi oleh frame, iso, diafragma, exposure, focal-length dan lain-lain. Belum lagi suntingan yang dilakukan di meja editing. Dalam segala keterbatasan inilah seniman, filmmakers menguras imajinasinya. Artinya realitas yang dihadirkan dalam film menjadi otentik sekaligus tidak otentik. Otentik jika kita mengerti situasi bahwa otoritas membanguan cerita, atau “kenyataan” dalam film dipegang oleh filmmakers. Sedangkan menjadi tidak otentik karena pasti ada citra-citra yang “direkayasa” sedemikian rupa dalam film, sehingga logika kita menormalisasi keadaan meskipun ada yang dirasa janggal. Tentu ini memiliki batas kewajaran tersendiri, dan selalu berhak diperdebatkan. Ini sebenarnya berkaitan dengan poin di awal tulisan, tentang siapa yang layak menilai film dan apa ukuran standarnya.
Apresiasi film, apresiasi seni adalah upaya untuk membangkitkan kesadaran diri.
Tanpa harus memperumit diri dengan berbagai teori-teori sosial, penilaian kita atas film sebenarnya adalah mencari relevansi diri kita dengan formasi sosial yang dominan, dan narasi atau cerita film. Persoalan ini bukan sedang menuntut bahwa film hanya bisa dinikmati ketika kita memahami isi ceritanya. Lebih dari itu, film harus diyakini dapat melahirkan impresi perasaan, entah itu sedih, marah, lucu, atau bahkan bingung. Tahap berikutnya adalah mengartikulasikan kata-kata sifat ini dalam deskripsi yang detail.
Apakah kita bahagia dengan apresiasi film hari ini?
Saya akan mengawali dengan, kenapa kita perlu atau ingin menonton film? Jika membuat 10 daftar urutan kenapa menonton film, saya menduga peringkat teratas dipegang oleh siapa aktornya. Entah di posisi berapa tema/ cerita film, reputasi filmmakers dan skor review dari kritikus film menjadi pertimbangan. Agaknya, kita perlu bertanya ke diri sendiri dulu, selama ini apa yang paling membuatmu penasaran ingin menonton film.
Apresiasi yang hanya menekankan capaian jumlah penonton hanya akan melahirkan situasi film yang homogen. Silakan cek situs-situs yang menyajikan 10 film Indonesia terlaris tahun ke tahun, seperti filmindonesia.or.id. Meski genre yang dibawa berbeda-beda, kita akan menemukan formulasi yang sama. Kita bisa memilih untuk mewajarkan situasi demikian, tetapi workshop ini ingin mengajukan pertanyaan, seberapa jauh realitas diri dan sosialmu tergambar dalam film-film semacam ini?
Coba kita lihat kasus lain, misal festival-festival film. Festival film selalu memiliki tema tertentu, dan umumnya memenangkan satu film terbaik di akhir acara. Kita bisa bertanya, apa kaitan tema yang diangkat dengan film yang memenangkan berderet penghargaan? Sejauh apa ini kemudian menyilaukan mata kita, apa yang tampak menyilaukan, gengsi penghargaanya, atau filmnya memang sedemikian mengaduk perasaanmu?
Kondisi bahwa film memang membutuhkan industri dan penghargaan yang ramai memang tidak bisa ditolak. Namun, dalam konteks apresiasi, penonton tidak boleh begitu saja kehilangan jati dirinya. Maka dari itu apresiasi adalah perihal membangkitkan kesadaran diri secara kritis. Elemen inilah yang kurang diperhatikan dalam ekosistem perfilman. Situasi demikian sudah berjalan cukup lama. Entah sejak kapan keluhan minimnya kritik film mulai ada. Yang jelas, ketika film-film yang “laku” selalu formulatif dan homogen, itulah saatnya kita bertanya pada diri sendiri, apakah hidup kita memang berjalan seformulatif dan sehomogen itu?
Sebuah refleksi: siapa dan bagaimana penonton film Indonesia (kini)?
Identifikasi karakter penonton film generasi pasca tahun 2000-an pada dasarnya tidak terlalu jauh berbeda dengan sebelumnya. Selalu masih ada kecenderungan ekspresif, bedanya melalui kesadaran dan keterbukaan akses media, ekspresi kini menjadi lebih performatif. Era ini menjadi perwujudan dari perkembangan teknologi yang otoritasnya ada dalam genggaman. Logika performativitas ini tumbuh bersama dengan interaksi-interaksi yang semakin termediumisasi. Bahwa menonton film secara pribadi, dalam perangkat personal, menjadi semakin jamak. Jumlahnya memang sulit dipastikan, tetapi bahwa situasi ini terjadi, tidak dapat disangkal. Situasi ini mengindikasikan bahwa kita perlu mengetengahkan kesadaran diri, medium, dan teknologi.
Akhir abad 20, dimana produksi film layar lebar Indonesia menurun, mulai banyak pembuat film mandiri, filmmaker dengan perangkat teknologi rumahan. Konsekuensinya adalah mulai lahir budaya saling menonton film karya internal/komunitas/kolektifnya masing-masing. Keberulangan ini bisa menjadi tradisi (turun-temurun), hingga kemudian bisa melahirkan potensi pengetahuan.
Maka saat ini yang diproduksi tidak hanya film, tetapi produksi imaji. Video-video yang kita lihat di sosial media adalah contoh terdekat dari perubahan kultur visual. Dimana persoalannya bukan lagi hanya mata yang mengintip dunia melalui viewfinder, tetapi lebih dari itu, yaitu ada tubuh yang merespon fenomena sosial. Kesadaran tubuh atas medium ini adalah sebuah temuan pengetahuan. Karya (video-video) dalam medium baru ini adalah kritik pada medium film konvensional (praktik di sekolah-sekolah film). Sebuah kritik karena mereka memberikan khazanah baru. Selain pada medium, kritik juga berada pada distribusi, yang sangat dipengaruhi oleh intensitas, tingkat massifnya suatu wacana dipublikasikan. Lihatlah betapa video-video di Youtube, Instagram, Twitter, Facebook bisa dalam hitungan jam menjadi trending, namun bisa dalam sekejap pula tergusur.
Tulisan singkat ini tentu tidak sedang menawarkan solusi, alih-alih ingin menyuguhkan cara pandang. Bahwa dalam menghadapi perkembangan film, berikut apresiasinya, satu-satunya jalan tidak melulu mengikuti teknologi dan gerakan sinema dunia. Tetapi siapapun, darimanapun, berhak menciptakan kultur sinemanya sendiri dengan modal kesadaran diri, media, dan teknologi.