Swasensor, sensor yang paripurna?
Saya akan memulai tulisan ini dengan pertanyaan, mengapa film membutuhkan sensor? Di Indonesia, film menjadi satu-satunya seni yang masih melalui jerat sensor pasca Orde Baru. Barangkali kutipan dari tokoh Lance dalam film Melancholy Is A Movement di atas sedikit menjadi gambaran. Coba bandingkan dengan visi Lembaga Sensor Film (LSF). “Terbangunnya Lembaga Sensor Film yang independen, tangguh dan profesional dalam melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film dan mendorong berkembangnya perfilman nasional yang berdaya saing sesuai tata nilai budaya bangsa yang unggul”.
Ada dua poin menarik untuk dicermati, yaitu “melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film” dan “perfilman nasional yang berdaya saing sesuai tata nilai budaya bangsa yang unggul”. Terdapat dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, pasal 2, 3, dan 4 yang memuat asas, tujuan dan fungsi perfilman nasional sebagai afirmasi visi LSF tersebut. Bisa dikatakan bahwa film adalah satu-satunya produk seni yang memiliki undang-undang khusus. Jika menengok rumitnya undang-undang di atas, entah itu sebuah keistimewaan atau pasungan. Hal inilah yang memicu pertanyaan mengapa film membutuhkan sensor.
Ya memang, film itu kalau bisa harus berarti, dan inspirasinya harus ada, ya
Melancholy Is A Movement (Richard Oh, 2015)
Termuat dalam Pasal 57 ayat (1), Setiap iklan dan film yang akan didistribusikan dan/atau ditampilkan, wajib untuk memperoleh Surat Keterangan Lulus Sensor (STLS). Lebih jelas disebutkan juga dalam Pasal 24 ayat (1), bahwa setiap film dan periklanan yang akan didistribusikan dan/atau ditampilkan ke publik, wajib disensor terlebih dahulu oleh Lembaga Sensor Film. Mari beralih dulu dari UU di atas ke praktik produksi, distribusi, dan ekshibisi perfilman nasional, khususnya di era digital dan keterbukaan akses teknologi informasi dan komunikasi.
Film melalui medium audio visual dan berdaya jangkau luas hingga level personal, dikhawatirkan menyesatkan pikiran karena pada dasarnya masyarakat belum siap menghadapi perbedaan opini yang cukup ekstrem. Terutama berkaitan dengan isu rasial, komunisme (Clash ‘65), dan agama. Ketidaksiapan masyarakat ini disampaikan oleh anggota dewan, Arif Suditomo, pada sebuah wawancara di media nasional. Pun beberapa kali ditegaskan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), LSF, dan Komisi I DPR RI tahun 2014. Sebelum mengarungi ideologi apa yang diresepsi oleh LSF, akan saya paparkan dulu film-film apa saja yang harus melalui sensor.
LSF melakukan penyensoran terhadap semua konten audio visual baik di layar bioskop maupun TV, dari film, acara TV, hingga iklan. Untuk film Indonesia (film feature/panjang) dalam bentuk pita 35mm, sensor dilakukan sebelum rilis di bioskop nasional. Untuk film internasional dalam bentuk cardtridge digital, perangkat ini tidak bisa dipotong, jadi untuk film internasional pilihannya antara tayang tanpa sensor atau tidak tayang sama sekali. Film yang sama sekali dilarang tayang seperti Noah, Balibo Five, hingga yang paling viral adalah Jagal, dan Senyap. Bagi film pendek yang harus melalui sensor, sejauh yang saya tahu adalah film-film yang diproduksi oleh lembaga pemerintah sebagai eksekutif produser, seperti film yang diproduksi menggunakan dana keistimewaan dari Dinas Kebudayaan Yogyakarta.
Dalam tahap teknis penyensoran, praktiknya rumit. Sebelum memperoleh STLS, film akan melalui beberapa tahap sensor, re-censor, bahkan jika diperlukan hingga sidang pleno antara LSF dan pembuat film. Jadi proses yang dilalui sebelum film komersil sampai di hadapan publik cukup panjang, jika dibandingkan distribusi produk seni lainnya. LSF tidak hanya menyensor konten film, tetapi juga judul, poster film, dan semua hal yang berkaitan dengan aspek promosi film. Pertanyaannya, apakah kerumitan ini membuat produksi film berkurang? Pada dasarnya, sensor film tidak pernah mengurangi jumlah produksi film secara drastis. Menariknya, banyak tindakan resistan dari para pembuat film. Mulai dari memproduksi film dengan tema yang disebut Rosihan Anwar sebagai “back to basic”, yaitu film dengan tema horor, komedi, seks, dan kekerasan, terutama bagi film yang beredar di era 70-90-an. Hingga yang paling mutakhir, mendistribusikan film ke festival-festival film internasional, di luar bioskop-bioskop komersil.
Secara periodik, sensor film sudah dilakukan sejak tahun 1916 oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada masa itu, sensor film digunakan untuk membendung berkembangnya wacana di kawasan Hindia-Belanda. Sensor film dipertahankan di era Orde Lama. Melalui Lekra, PKI menyuarakan sensor film dalam rangka melanjutkan usaha revolusi. Sekaligus memagari film-film impor, terutama Amerika yang dirasa berpotensi merusak moral dan perilaku anak bangsa. Di era Orde Baru, sensor film cenderung digunakan sebagai proteksi tumbuhnya narasi-narasi kritis, bahkan sensor film dilakukan sejak tahap penulisan naskah (prasensor). Hingga saat ini, LSF masih dipercaya pemerintah sebagai institusi yang menjauhkan publik dari film-film dengan potensi “mengganggu” stabilitas negara. Kemudian muncul gagasan swasensor untuk merespon akses teknologi yang tidak dapat dihentikan saat ini.
Bagi saya, swasensor disebut sebagai cara berpikir, proses penanaman kesadaran masyarakat terhadap tontonan media audio visual, bukan praktik secara teknis dalam level lembaga. Yang dimaksud cara berpikir adalah harapan LSF agar masyarakat dapat memilih sendiri film yang mau ditonton. Hal ini merupakan respon atas keterbukaan teknologi yang memungkinkan mudahnya film beredar tanpa STLS. Wacana ini disampaikan secara tegas dalam RDP di atas, dan secara garis besar disetujui oleh para anggota dewan. Perkembangan akses teknologi komunikasi dan informasi, menjadi era yang sangat terbuka bagi film dapat beredar bebas tanpa STLS. Sebelum ada di level kesadaran masyarakat memilih sendiri tontonan filmnya, banyak pemutaran film yang digagalkan oleh pihak-pihak tertentu. Seperti pada beberapa kasus (lihat lampiran). Apakah demikian yang dimaksud LSF sebagai swasensor?
Faktanya, memang semua film yang menemui halangan pada pemutarannya adalah film-film yang tidak memiliki STLS. Semuanya terjadi dalam ruang pemutaran film alternatif, dari diskusi akademik kampus, komunitas, hingga festival film. Rangkaian peristiwa di atas, barangkali bukan hal baru jika dilihat dari aspek praktiknya. Film karya Usmar Ismail tahun 1955 berjudul Tamu Agung, berkisah tentang sosok Presiden yang berhalangan hadir di desa Sukaslamet digantikan oleh tukang obat dengan gaya bicara dan perawakan yang mirip dengan Soekarno. Film ini secara teknis lolos sensor, bahkan disukai oleh Soekarno sendiri. Persoalan hadir ketika film ini banyak diprotes dan diboikot oleh Soekarnois garis keras pada proses distribusinya. Kasus yang paling hangat kita bisa lihat kontroversi film Soekarno karya Hanung Bramantyo tahun 2013, tentang gugatan dari salah satu keluarga Soekarno. Film lain yang senantiasa kontroversial adalah film-film horor erotis dengan pemain film porno sebagai salah satu bintangnya. Film-film tersebut mengantongi STLS, namun penolakan dan pencekalan hadir ketika film ini rilis ke publik. Dalam beberapa artian, publik sudah melakukan swasensor, baik pada film yang memiliki STLS maupun tidak. Maka timbul pertanyaan, mana yang lebih dulu, praktik atau wacana swasensor? Menurut saya, kasus Tamu Agung bisa disebut sebagai swasensor, jauh sebelum LSF mewacanakan swasensor. Maka bisa dikatakan bahwa secara praktiknya, swasensor telah dilakukan jauh sebelum wacana tersebut lahir. Persoalannya kini, jika swasensor adalah sebuah reaksi, aksi apa yang melatarbelakanginya?
Kelindan Represi dan Ideologi Dalam Swasensor
Pertanyaan di atas akan saya tinjau dari perspektif Althusserian dalam konsepnya Ideological State Apparatuses. Dalam konteks negara, Louis Althusser menyebutkan bahwa sangat penting untuk tidak hanya memperhitungkan antara kekuasaan dan aparatus negara, namun juga menyadari realitas akan represinya. Althusser membedakan antara Ideological State Apparatuses (ISA) dengan Repressive State Apparatus (RSA). Aparatus negara dalam hal ini seperti tentara, polisi, pengadilan, hingga penjara yang bersama-sama disebut sebagai RSA. Represi dipahami sebagai tekanan dalam bentuk kekerasan fisik. ISA merupakan bentuk institusi atau organisasi, mulai dari aparatus skolastik seperti sekolah, institut, universitas dan lembaga-lembaga pendidikan. Aparatus religius seperti majelis-majelis dan organisasi keagamaan tertentu. Aparatus politik yaitu parlemen, fraksi, dan partai politik. Aparatus budaya (entertainment atau hiburan) termasuk teater, film, sastra, dan olahraga. Aparatus informasi dan pemberitaan yaitu surat kabar, dan portal-portal berita. Hingga aparatus pada level keluarga seperti perkumpulan orang tua murid dalam satu sekolah.
Institusi-institusi (aparatus) ini tidak dapat dilepaskan dari sistem sebagai bagian dari komponennya. Setiap institusi di dalam sistem ini berada pada sebuah ‘realitas nonideologi’. Maksudnya, pada level ISA, ‘tindakan negara’ sudah ada di tataran praksis, ideologi tidak lagi bernama ideologi, melainkan diyakini sebagai realitas. Jadi, ISA merupakan kolaborasi dari rangkaian sistem yang memiliki fungsi masing-masing, seperti bagaimana setiap aparatus memiliki bidangnya masing-masing. Sistem ini merupakan tatanan yang lebih besar pada level kekuasaan negara (state power). Di Indonesia, ISA disebut sebagai bagian dari aparatus komunikasi dan informasi, di bawah kebijakan Komisi I DPR RI yang juga menangani pertahanan dan intelijen. Dalam praktik swasensor, negara secara tidak langsung memanfaatkan kekuatan lembaga-lembaga tertentu. Maka tidak mengherankan jika praktik swasensor lebih cenderung dilakukan oleh lembaga atau organisasi-organisasi di luar LSF. Kata kunci lain dari ISA adalah free will, artinya ada kehendak bebas untuk mengikuti institusi tertentu sebagai subjek. Meskipun demikian, gagasan di dalamnya tidak muncul dari subjek, tetapi merupakan konstruksi realitas yang diciptakan oleh aparatus negara. Konstruksi realitas ini diciptakan salah satunya oleh LSF melalui wacana swasensor. Dalam praktiknya, tindakan swasensor sudah dilakukan terlebih dahulu sebelum lahir gagasannya.
Sebelum Tamu Agung, kasus lain menimpa Usmar di film Darah dan Doa (1950), yang banyak mendapatkan penolakan dari otoritas militer, karena lebih cenderung menampilkan peran sipil dalam menumpas kelompok separatis Islam. Hal ini membuat Usmar bersiasat di film berikutnya, Enam Djam Di Djogja (1951), dengan tidak banyak menampilkan kontak fisik, namun lebih kepada pertemuan dan rapat-rapat strategis. Atas terjadinya polemik-polemik di ranah eksebisi film, pada tahun 1975 pemerintah mendirikan BAPFIDA (Badan Pembinaan Film Daerah) di tingkat provinsi. Tidak seperti lembaga sensor, BAPFIDA tidak bisa memotong atau mengubah film, namun diberi kekuasaan untuk melarang peredaran sebuah film di provinsi atau wilayah kewenangannya. Selain lembaga, secara regulasi pun tak luput dari bibit cara berpikir swasensor.
Pemerintah Indonesia berkepentingan untuk menurunkan angka kasus turut campur tangan secara langsung, karena jika terlalu banyak campur tangan, pemerintah mengakui terjadi konflik antara otoritas dan kelompok masyarakat. Argumen ini lahir dalam konteks pemerintah mengeluarkan dan menyosialisasikan regulasi-regulasi mengenai pedoman-pedoman perfilman, atau Kode Etik Produksi Film Nasional, tujuannya agar film tidak dipotong habis di hadapan sensor film. Lebih lanjut, inti dari kode etik tersebut, film tidak hanya dilarang mengkritik aspek apa pun dari fungsi negara atau kekuasaan, juga dipersulit untuk membahas banyak aspek dari konflik sosial. Konflik sosial yang dimaksud adalah larangan menampilkan konflik antara si kaya dan si miskin, atau menampilkan konflik antaragama.
Sementara itu, tidak jauh berbeda di era Orde Lama. Lekra yang terus menyuarakan seni sebagai salah satu perangkat revolusi, cukup vokal dalam mengoreksi kerja Badan Sensor Film (BSF). BSF diyakini secara sadar sebagai bagian dari alat revolusi sebagaimana aparatus-aparatus negara lainnya. Bahkan dalam surat kabar Harian Rakjat, Lekra mengingatkan penetrasi kebudayaan imperialisme melalui filmfilm, terutama film Amerika. Ada bahaya kebudayaan yang bergerak anarkis dalam tubuh masyarakat, bahkan menyerang sikap panitia sensor yang “bantji”.16 Seorang sutradara Lekra, Tan Sing Hwat, berpendapat bahwa film hanya sebagai barang dagangan tidak sepenuhnya tepat. Menurutnya, fungsi film sejatinya adalah alat kebudayaan, di dalamnya termuat pesan-pesan baik implisit maupun eksplisit untuk membangun pendidikan mental, baik dalam hal ideologi, gaya hidup, atau pendidikan.
Swasensor dan teror
Dalam ketatnya regulasi yang termuat baik dalam UU Perfilman ataupun UU Lembaga Sensor Film, pemerintah seolah hanya memberi izin edar film-film dengan standar normatif. Dengan demikian, tidak mengherankan, jika distribusi film ke luar negeri dan eksebisi di festival-festival film, dan pemutaran alternatif menjadi pilihan. Melalui berbagai peristiwa terdahulu, dapat dibuktikan bahwa wacana swasensor tidak hadir sekonyong-konyong. Swasensor sendiri bisa jadi tidak lebih dari sekadar nama atau label, gagasan di dalamnya ternyata sangat rumit. Terlebih melihat era kini, pekembangan teknologi sangat memungkinkan film beredar di hadapan publik tanpa STLS. Saya yakin, LSF sendiri bukan tanpa strategi menghadapi kenyataan ini. Dan menariknya, strategi ini melibatkan aparatus-aparatus negara, hingga praktiknya bisa lebih rumit dari yang dirumuskan oleh Althusser mengenai RSA dan ISA.
Dalam fenomena maraknya layar pemutaran alternatif yang menayangkan film-film tanpa STLS, yang bergerak agresif bukan LSF sendiri selaku aparatus negara, namun ormas-ormas. Mengutip dari tulisan Zaki Hussein, ini berarti baik RSA maupun ISA masing-masing mengandung represi dan ideologi. Namun, cara kerja utama RSA adalah dengen represi, sementara ideologi hanya menjadi cara kerja sekundernya. Demikian pula sebaliknya, ISA bekerja terutama dengan ideologi, sementara represi hanya menjadi cara kerja sekundernya.
Ketika ormas-ormas melakukan represi, bahkan tindakan menjurus kekerasan yang dianggapnya sebagai ‘kewajaran’, perlu dilihat lebih dalam, apa yang membuatnya terlihat wajar. Dari sini tidak bisa dilepaskan dari gagasan LSF melalui wacana swasensor. Wacana ini menurut saya bagai pisau bermata dua, di satu sisi berhasil terinfiltrasi ke dalam tindakan aparatus-aparatus privat (ormas), di sisi lain bagaikan memunggungi (untuk tidak menyebut menyangkal) realitas keterbukaan akses teknologi. Sekaligus menempatkan publik sebagai insan tak berakal yang begitu mudah dipengaruhi oleh film. Saya akan kembali lagi pada perbandingan ketika kesenian lain bergerak begitu agresif menyuarakan ketidakadilan, kekerasan rasial, hingga perampasan hak-hak agraria. Film yang beredar luas di bioskop dan disaksikan jutaan penonton, belum beranjak dari komedi erotis dan roman kisah cinta remaja. Ironis, ketika film dengan bumbu kontroversi, dan dibintangi pemain film porno mengantongi STLS, diprotes keras namun tetap tayang di bioskop hingga menarik ratusan ribu penonton. Di sisi lain, ada film dengan konten tertentu yang dilarang tayang, dan dihantui teror pada setiap pemutaran filmnya. Jika swasensor dianggap sebagai cara LSF dalam mengatasi dampak negatif film yang tidak terbendung, tampaknya perlu ditata ulang praksis sosialnya. Sejauh yang terlihat, swasensor cenderung salah sasaran, dan hanya melegitimasi cara berpikir yang mewajarkan represi kekerasan fisik.