Dekade terakhir abad 20, tepatnya 1990-an, Konfiden dan Radio Prambors mengadakan Festival Film-Video Independen 1999. Digelar di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, festival ini menghadirkan nama-nama yang kini eksis seperti Hanung Bramantyo, Riri Riza, Mira Lesmana, Alex Sihar, dan sebagainya. Konon, tumbuhnya insan perfilman kala itu bermula dari bagaimana mereka saling menonton film buatan masing-masing di kamar-kamar kosan hingga kontrakan. Proses pembuatan film juga berasal dari dana kolekan. Kesaksian yang sama juga diungkapkan seperti Ifa Isfansyah, Senoaji Julius, D.S. Nugraheni, dan sebagainya. Generasi pelaku film yang tumbuh di era awal tahun 2000-an. Hari ini, di situasi pandemi dan berbagai pembatasan sosial, budaya saling menonton dan dinamika pendanaan film tentu sudah berubah bentuk. Sumber pendanaan film bertambah, mulai dari pemerintah seperti film danais Dinas Kebudayaan DIY, FBK Kemendikbud, hingga forum-forum pitching yang difasilitasi oleh Kemenparekraf dan Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF).
Soal Pendanaan:
Film, sebagaimana karya seni lainnya, adalah hasil negosiasi dari berbagai batas. Karya dengan inisiatif pribadi, biasanya akan terbatas pada akses dana. Karya dengan support atau dukungan proyek pemerintah, biasanya akan terbatas pada aturan main birokrasi dan ideologi negara. Sementara itu, film akan selalu berjalan dalam dualitas keberpihakan. Soal ingin menunjukan realitas sebagaimana adanya atau ruang menuangkan imajinasi sebagai bentuk mewujudkan kemungkinan dalam hidup yang kadang dikepung kemustahilan. Jika generasi pembuat film berdana patungan melahirkan Ifa Isfansyah dan kawan-kawan sepermainannya, generasi macam apa yang akan dilahirkan dari peluang pendanaan film hari ini?
Soal budaya menonton
Jika budaya menonton film tahun 1990-an melahirkan nama-nama yang seperti hari ini masih eksis, bagaimana dengan budaya menonton hari ini yang tidak lagi didominasi oleh pertemuan fisik, tetapi digantikan dengan pengalaman menonton melalui platform-platform Over The Top (OTT)?.
Para pembuat film hari ini tampaknya paham betul tentang peluang dan bagaimana referensi/ budaya visual mempengaruhi proses kekaryaan mereka. Bersama Tata, kita akan refleksikan bersama soal benarkah peluang ini didistribusikan secara merata dan tidak ada diskriminasi. Dalam satu tarikan nafas, persoalan ini tentu terkait dengan bagaimana imajinasi para seniman tumbuh bersama dengan apa yang selama ini mereka tonton.
Kata kunci:
Negosiasi proses kreatif, peluang pendanaan dan budaya menonton