Jogja yang memiliki skema pendanaan film melalui danais, membuat seniman berhadapan
dengan visi negara/ pemerintah, hasratnya untuk berekspresi dan imajinasi atas persoalan kota,
dalam hal ini adalah Jogja. Maka rasanya relasi antara seniman, pemerintah, dan citra atas kota
selalu bermain pada batas-batas yang rumit. Tanpa negosiasi yang lihai, relasi diantaranya
secara tidak sadar bisa melahirkan penindasan dan ilusi atas kesetaraan. Dibalik film-film
danais yang kita lihat, ada keinginan untuk mengembalikan dana publik pada masyarakat, ada
keinginan untuk menyuarakan problem kota dalam bahasa-bahasa sinematik, belum lagi
persoalan bagaimana film menjadi bagian dari memberi suara orang-orang yang dibungkam
dan membongkar kebekuan pada hal-hal yang selama ini diyakini benar. Film danais bisa
memberi kita gambaran soal apa yang diimajinasikan oleh seniman dan pemerintah atas
problem kota, dinamika kebudayaan, dan wajah manusia yang menghidupinya. Sedangkan di
lain hal, sepertinya film akan selalu berjalan dalam dualitas keberpihakan. Soal ingin
menunjukan realitas sebagaimana adanya, atau film menjadi ruang menuangkan imajinasi
sebagai bentuk mewujudkan kemungkinan dalam hidup yang kadang dikepung kemustahilan.
Dengan kata lain, ada dimensi persoalan etik dan representasi atas bagaimana citra atas kota
ingin dibentuk dan dikomunikasikan kepada khalayak luas. Obrolan dengan Mbak Dyna tentu
tidak untuk menjawab seluruh persoalan tersebut, tetapi setidaknya kita bisa melihat ulang
bagaimana para pelaku film memproblematisasi lanskap sosial Jogja hari ini
Kata kunci: imajinasi seniman atas problem sosial Jogja dan representasi wajah Jogja
dalam sinema