Beberapa sumber mengatakan, pendanaan pemerintah ditujukan untuk memfasilitasi para
pembuat film agar memiliki pengalaman dan reputasi sebagai modal menembus industri
perfilman yang lebih mapan. Langkah ini bisa disebut kemajuan jika patokannya adalah
berlangsungnya kemapanan industri, tetapi sepertinya persoalan kebebasan berekspresi masih
menjadi PR bersama. Rasanya seperti ada laku saling menggadaikan antara kebebasan
berpendapat dengan tersedianya peluang pendanaan, terutama dari pemerintah. Film,
sebagaimana karya seni lainnya, adalah hasil negosiasi dari berbagai batas. Karya dengan
inisiatif pribadi, biasanya akan terbatas pada ketersediaan dana. Karya dengan support atau
dukungan proyek pemerintah, biasanya akan terbatas pada aturan main birokrasi dan ideologi
negara.
Obrolan bersama Pak Tobon sebagai pembuat film sekaligus pengajar, akan mengeksplorasi 2
hal. Pertama soal kebebasan berekspresi dan politik pendanaan film, apakah situasi ini adalah
dilema abadi atau sebenarnya bisa hidup bersama tanpa saling menggadaikan satu sama lain.
Kedua adalah soal budaya menonton dan berkomunitas, jika budaya menonton dan pergaulan
film tahun 90-an dan 2000-an awal melahirkan nama-nama yang seperti hari ini masih eksis,
bagaimana dengan budaya menonton hari ini yang tidak lagi didominasi oleh pertemuan fisik,
tetapi digantikan dengan pengalaman menonton melalui platform-platform Over The Top (OTT).
Sebagai pengajar di perguruan tinggi, tantangan dan siasat macam apa yang mesti ditempuh
oleh Pak Tobon. Karena harus diakui bahwa bagaimana generasi hari ini membentuk
pengalaman berjejaring dan mendapat referensi tontonan adalah dua aspek yang penting
dalam membentuk mentalitas berfilm para pembuat film masa depan.
Kata kunci: Peluang pendanaan dan budaya menonton dan berjejaring